28.8.06

Air, Komunikasi, dan Modernitas

Air. Dalam banyak mitologi di muka bumi , air menjadi simbol ibu. Masyarakat Jawa yang hidup di bawah buana mitologis Kerajaan Mataram, mereka yang tinggal selatan Gunung Merapi mengalami metafora empat elemen kehidupan, lemah, geni, banyu, angin, -tanah, api, air, angin- dalam simbolisme alam fisik yang menakjubkan. Gunung Merapi mewakili elemen bumi (tanah) dan api, Laut Selatan mewakili air dan angin. Laki-laki dan perempuan. Gunung dan lautan.
Kebangkitan teologi feminis, konsepsi Allah Ibu, tentu saja adalah bagian dari upaya panjang pencarian jalan pulang. Rute keadaban dunia, dalam dominasi tradisi religius agama-agama Samawi, memang menggiring evolusi kebudayaan manusia dalam garis edar maskulinis. Harus dihancurkannya dunia lama, untuk digantikan dunia baru, didasarkan pada klaim doktrin benda penjal dalam ilmu-ilmu alam, dua benda tidak mungkin menghuni satu ruang-waktu yang sama. Maka dunia keadaban manusia modern mengisyaratkan “creative destruction” penghancuran kreatif, sebagai prasyarat mutlak berlangsungnya penciptaan. Atas dasar logika inilah, dunia modern diletakkan, menginspirasi gerak kemajuan modernitas melalui rute yang tak ramah pada nasib manusia itu sendiri : penggusuran-penggusuran dan penindasan di dunia kapitalis, kebijakan ‘pembangunan dari titik nol’ ala sosialisme Stalin dan Pol Pot, pembantaian ala Hitler dalam negara-negara kaum nasionalis-fasis, hingga fatalisme religius para teroris.
Namun demikian, ada unsur kunci yang lain dalam bangunan modernitas : rasionalitas sebagai cara pandang dominan, nilai-lebih, sebagaimana berhasil dikonstruksi oleh Marx, sebagai kunci reproduksi sosial dan akumulasi sumberdaya, serta alienasi, pengasingan manusia dari kemanusiaannya sendiri.

Alienasi, komunikasi, dan makna hidup
Kemajuan peradaban modern secara ironis dimulai, justru karena manusia berhasil menemukan cara untuk berpisah, menjarakkan diri dari dirinya sendiri. Jika kedekatan interpersonal dan bentuk relasi-relasi primordial ini dapat disebut komunikasi, dapat dikatakan modernitas berjalan karena terlebih dahulu telah berhasil dilakukan penggeseran moda komunikasi, sebagai bahasa ekspresi hidup komunal dan mediasi budaya, menjadi bahasa teknis dan instrumental.
Ada dua altar pengorbanan komunikasi komunal dalam peradaban modern : di atas meja bedah ilmu-ilmu modern dengan kerja obyektivikasi atas realitasnya, sebuah pemisahan subyek dan obyek pengetahuan, serta dalam alienasi yang dipuja-puja dalam pemisahan kerja dan manusia, yang menjadikan manusia-buruh sebagai baut-baut penghubung mesin-mesin produksi dari semestas sistem kapitalis.
Begitulah cara kita berpikir dan cara kita memandang kehidupan menemukan bentuk dan manifestasinya. Hubungan penguasaan atas alam dan kehidupan, hubungan manusia satu dengan yang lain, dan paling parah, hubungan manusia dengan kebermaknaan diri dan kehidupannya. Celakanya, kita dengan mudah bisa menemukan pembenaran tindakan ini dalam teks-teks kitab suci. Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara… begitu kata Kitab Kejadian.

Air, komunikasi, dan kapitalisasi kehidupan
Dalam kultur tradisional tak heran bila bentuk-bentuk komunikasi komunal itu berlangsung tak jauh dari air : mencuci dan mandi bersama di telaga, di sungai, di mata air kecil di pelosok-pelosok dusun. Laki-laki perempuan, anak-anak dan dewasa, semua menyatu, membuka diri untuk disucikan dan dipersembahkan kepada jernihnya Sang Pangkal kehidupan. Kebersamaan yang tulus, jauh dari kecurigaan dan perendahan dogmatik agama-agama besar perkotaan akan arti tubuh fisik dan kedalaman budi manusia, jauh dari komersialisasi nafsu lawan jenis dari budaya modern.
Tentu, kebutuhan biologis akan air tak terelakkan oleh segala yang hidup di bumi, artinya secara nalar wajar kalau air menjadi titik simpul interaksi sosial masyarakat di sekitarnya, toh semua orang membutuhkan air. Namun sayangnya pandangan sinis kaum rasionalis ala ahli sosiologi Emile Durkheim ini tak cukup menjelaskan kekuatan simbolik dari air, yang telah begitu banyak menginspirasikan mitos, legenda, dan kisah-kisah spiritual sepanjang sejarah manusia.
Hanya dalam masyarakat modern air itu dipisahkan dari karakter komunalnya : dikemas, dibotolkan, dijerigenkan, dipipanisasi, dijual ke konsumen individual di rumah tangga. Hubungan manusia dan air menjadi sekedar hubungan konsumsi. Manusia dikonsumenkan, air yang semula satu, dalam wadah besar telaga kehidupan menjadi paket-paket kecil tanpa bobot antropologis apapun. Air berakhir sebagai mediasi budaya, sebagai medium komunikasi umat manusia.

Ibu dan komunikasi feminim, sebuah kerinduan antropologis
Kisah tragis pengasingan air dan pergeseran moda komunikasi masyarakat yang tercipta atasnya, adalah kisah tragis kemanusiaan itu sendiri. Berakhirnya manusia sebagai akar dan pangkal keberadaban, berakhirnya martabat kemanusiaan sebagai pembentuk utama kehidupan, tunduk oleh kuasa modal, kuasa pemupukan nilai lebih, kapitalisasi kehidupan.
Air, komunitas, komunikasi, dan pencitraan Allah Ibu itu sendiri pada hakikatnya adalah satu. Maka jelas mengapa kita semua saat ini rindu, bukan hanya sebuah kerinduan nostalgis, namun kebutuhan hakiki untuk mempertahankan kemanusiaan. Sebuah keadaban pengasuhan seorang Ibu, dimana kehidupan melestarikan dirinya dengan saling merawat dan berbagi. Di sinilah, sebagai sebuah format interaksi sosial manusiai, moda komunikasi feminim menjadi sungguh-sungguh punya arti.

rumah orangmuda, 2006

Masih adakah mimpi indah tersisa
bagi anak-anak masa depan ?


Bermimpi, siapa yang bisa melarangnya ?
Setiap orang suka tak suka pernah bermimpi. Menyenangkan, menakjubkan, menyedihkan, mengerikan, ataupun menakutkan.
Mimpi yang timbul tenggelam dalam lelap tidur kita, mimpi yang menyisakan perasaan-perasaan ajaib ketika pagi tiba.

Tapi impian bukan hanya menjadi hiasan tidur kita. Pada begitu banyak orang, impian yang dibangun ketika kita bangun jauh lebih berharga dari sekedar bunga-bunga tidur.
Bahwa kita bisa bersekolah dan belajar,
bahwa kita bisa menciptakan masa depan,
bahwa kita bisa memperjuangkan dan menemukan nilai hidup kita di situ.

Dalam impian kita menjadi pencipta,
pemain-pemain dari imajinasi kita
dalam impian kita menjadi pekerja pertama,
karena dalam impian segala sesuatu pertama kali diciptakan
oleh tangan-tangan batin kita yang kekar dan terlatih.


Biarlah setiap orang menjadi pencipta, pekerja, penggarap, dan pemilik dari impian-impiannya.
Kebudayaan bukan Klangenan

Ada beberapa syarat sebuah aktivitas menjadi klangenan : pertama, ia tidak menduduki kedudukan sentral dalam hidup sehari-hari, ia hadir sebagai hiburan, sebagai sampiran; kedua, karenanya ia adalah produk kelas sosial yang memampukannya memiliki kemewahan’waktu senggang’; ketiga, karena itu pula ia bermakna simbolik bagi para pelakunya.
Klangenan barangkali salah satu dari produk pertama ekonomi waktu dalam kultur Jawa. Ia diusung oleh lembaga-lembaga birokrasi kolonial yang mengatur para pegawainya dalam lingkar rutinitas waktu harian. Melahirkan kultur kaprajan yang mungkin jauh lebih aristokratik daripada Kraton sendiri. Meminjam gagasan Geertz tentang negara teater, imajinasi pinggiran atas pusat tradisi melampaui cara-cara pusat itu sendiri menyatakan dirinya. Dari sini lahirlah mitos dahsyat yang melahirkan antipati pada kultur Jawa, bahkan, dan sungguh sebuah tragedi, di hadapan masyarakatnya sendiri. Mitos tentang kultur priyayi yang menjadi cara rumah produksi dalam aneka sinetronnya melukiskan kebudayaan Jawa : selalu lengkap dengan pemahamannya yang tak karuan tentang tata krama, rumah kuno, pakaian, dan jangan lupa pula, burung perkutut. Bahkan Butet dan Teater Gandrik yang latar kulturalnya kuat pun tak bosan-bosan dengan lelucon ‘wagu’ dari kultur priyayi ini, dan justru menjadi pengkotbah-pengkotbahnya yang utama.
Kagunan, yakni aspek fungsionalitas dari sebuah kegiatan atau benda, menjadi kontraposisi dari klangenan. Nah, mungkin di aspek kagunan inilah keheranan saya atas rencana Kraton berkongsi dengan investor untuk membangun mall bisa terjawab. Tentu saja, kagunan bagi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang memang butuh kapital sekedar untuk mengganti atap dan mengecat tembok-temboknya yang sering jadi korban rebutan klaim teritorial gang-gang anak muda itu.
Tapi benarkah kebudayaan Jawa tak lagi bisa dihidupi sebagai kagunan ? Mungkin ya, menilik hidup ekonomi yang mesti kita lakoni dalam kerasnya jaman kapitalisme ini. Ia hanya sebuah klangenan, persis seperti dolan ke mall adalah klangenan bagi orang-orang muda dari jaman kita. Hidup ekonomi saat ini jauh lebih berharga daripada hidup kultural. Kapitalisme memang tak pernah menerima kebudayaan, kecuali kalau ia bisa dijual, atau bisa menunjukkan kelas sosial dari pelibatnya. Kebudayaan sebagai makna dan praksis laku hidup dalam cucuran keringat kerja keras keseharian, jelas-jelas di luar kamus.
Sejak lama Kraton memang telah berlatih untuk menghidupi ‘klangenan’ publik sebagai ‘kagunan’ bertahan hidupnya. Turisme itu klangenan, rokok pun sedikit banyak demikian, mengapa tak membuat mall sekalian ?
Seberapa jauh ideologi neoliberal ini masuk ke dalam Kraton Yogyakarta ? Kalau mengingat hidup kosmopolit yang dilakoni elit-elitnya, integrasinya dengan ekonomi turisme, kehadiran rokok Kraton Dalem, hingga Bale Raos dan Sarinah, yang umbul-umbulnya memadati Jalan menuju Kemagangan, agaknya memang tidak dapat dipungkiri lagi dominannya neo liberal dalam tubuh patron tradisi kita itu. Tak bisakah Kraton Yogyakarta mencari sekutu lain ? Sekutu yang tak gampang memang, karena pasar tetaplah lokus utama sirkulasi uang. Tidakkah ia bisa bersekutu dengan para intelektual yang ‘licik’ bermain strategi kebudayaan untuk bisa membuatnya bertahan ? Bukankah pendidikan dan Kraton adalah kekasih satu joli di bumi selatan Merapi ini ? Mengapa justru Kraton berselingkuh dengan pasar ? Mungkinkah karena pendidikan di kota ini kondang berlirikan mata dengan kekuasaan ? Tak mau jadi teman prihatin beralas tikar bernasi jagung ?
Kita masih bisa memahami Kraton Dalem, yang punya potensi mendekatkan diri Kraton pada rakyat kecil lewat rokok murahnya, demikian juga Bale Raos dan Sarinah yang memang melayani kebutuhan dunia turisme yang memang padat konsumsi simbolik itu. Tapi kehendak Kraton untuk membangun mall yang nota bene juga sarat pesan konsumsi simbolik itu yang sungguh-sungguh kita tak bisa mengerti. Memang secara geografis ia tak begitu dekat dengan pusat tradisi (dan sejak dibangunnya Hotel Ambarukmo sebagai kado pampasan Perang Dunia II dari Jepang kepada pemerintah RI, kawasan timur laut Yogya itu agaknya memang menjadi pusat persekutuan Kraton Yogyakarta dengan ekonomi pasar), namun dalam rantai reproduksi makna, sebagai katedral kebudayaan populer, sungguh mall adalah pabrik paling besar dari racun pembunuh terampuh bagi tradisi. Sungguh, bunuh diri kultural inilah yang saya tak bisa mengerti.
Atau mungkin mall itu sendiri menjadi semacam klangenan bagi Kraton. Mall sendiri memang hidup dari waktu senggang, ia tidaklah cukup fungsional secara material (walau memang memenuhi tuntutan ‘kagunan’ dalam artian simbolik), dan karena simbolis, ia menunjukkan kelas elitisme sendiri bagi para pemiliknya (setidaknya dalam hal ini, walau tidak secara kapital, pemilik politis dari padanya). Barangkali Kraton bermimpi menjadi penguasa ‘waktu senggang’. Tapi ini tak cukup membuat saya mengerti. Sebagai orang Jawa saya hanya merasa diselingkuhi.

Yogyakarta, 8 Maret 2004
Manusia Buru
Sebuah Catatan Perbincangan

Selalu ada rasa takjub yang mendalam ketika berbincang dengan sosok-sosok ekstapol, khususnya mereka yang secara langsung mengalami masa-masa tefaat (tempat pemanfaatan) Pulau Buru. Mereka yang pernah mengalami ketidakadilan yang luarbiasa, yang ironisnya tidak dilakukan oleh para penjajah asing, namun justru oleh warga sebangsa seibu bumi. Mereka tiba bergelombang di awal dasawarsa ’70-an, dari penjara-penjara di pulau Jawa, khususnya Nusakambangan, ke sebuah pulau terpencil yang masih amat liar, dengan hutan dan padang ilalangnya. “Di bumi yang masih begitu perawan, kami membangun penjara kami sendiri. Membabat hutan, membangun barak, membuka sawah sekaligus aliran irigasinya. Barangkali kami adalah satu-satunya tahanan di dunia, yang mencipta sendiri penjara-penjaranya.” Begitulah kira-kira tutur Pramudya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, sebuah catatan pergulatan sekitar sepuluh ribu orang yang terusir dari bangsanya karena pertikaian politik tingkat tinggi, yang barangkali membuat miris setiap orang yang membacanya. “Kami makan apapun yang bisa kami makan. Kami berburu semua binatang, babi hutan, ular, adalah santapan setiap hari.” Begitu kisah seorang Penyaksi Buru.

Bagaimanapun, berbincang dengan mereka selalu merupakan kesempatan yang menakjubkan. Cap negatif, trauma, tabu, dan rasa enggan memang masih kuat terekam di benak kita. Pemberontakan PKI memang bukan peristiwa biasa. Setelah melalui masa ketegangan yang begitu panjang sejak awal revolusi (baik Persatuan Perjuangan Tan Malaka ataupun PKI Madiun), masa Pemilu ’55 dan ketegangan Konstituante, hingga konflik PKI dan Angkatan Darat di tahun ’60-an, dan puncaknya di tahun ’65 komunisme menjadi kata yang terlalu berat untuk kita ucapkan, apalagi dalam obrolan keseharian. Namun obrolan malam itu tetap begitu mendalam terasa. Berbincang dengan pelaku dan penyaksi peristiwa yang luar biasa. Bagi anak kemarin sore yang lahir tepat ketika gelombang terakhir pemulangan (karena tekanan internasional dan nasional, dan peran gereja yang tidak kecil di dalamnya) berlangsung di tahun 1979 dan hanya mampu meraba-raba lewat buku-buku dan kisah-kisah orang kedua, ketiga, atau entah keberapa, kisah malam itu sungguh luar biasa. Sebagian mereka tak pernah diadili, meski mereka jauh lebih beruntung dari pada lebih dari dua ratus lima puluh ribu (atau bahkan jutaan) yang lain yang tewas dalam pembantaian massal pasca pemberontakan.

Sungguh luar biasa pula ketika pada kesempatan yang berbeda, seorang penyaksi Buru yang lain mendekat dan menyapa, “Wah buku Goethe ya nak. O, Kant juga.” Kaget mendengar ucapan yang sepertinya begitu familiar dengan pemikir-pemikir besar itu, Matanya yang sepuh menyinar arif sedikit tertutup oleh rambut yang terburai liar yang mulai memutih pula. Barangkali ia bisa menjadi dosen, kalau dulu ia tidak terlibat dalam CGMI. Kini ia hanya menjadi tukang bersih-bersih yang amat sederhana, yang barangkali kita semua enggan untuk menatapnya. Betapa banyak manusia-manusia luar biasa, pemikir dan pegulat intelektual, pemimpin lokal, penggerak kaum muda yang harus dikorbankan dalam revolusi itu, yang terpaksa meninggalkan kampus, ataupun lembaga lain. Betapa kita kehilangan kontributor besar pada bangsa kita, mereka diasingkan ke Buru, untuk menebang pohon, membuka sawah, itu pun kalau mereka masih bisa bertahan hidup di tengah alam yang begitu liar (bukan berarti pekerjaan semacam ini rendah, namun mereka sebenarnya mampu memberikan kontribusi yang lebih besar untuk bangsanya). Ratusan orang telah meninggal dalam perjalanan keberangkatan, di atas kapal yang sama sekali tak memadai fasilitasnya, jenasah mereka dibuang ke laut sementara teman-teman mereka di kapal harus berjuang dalam kekurangan makanan, air minum, sanitasi, dan sarana kesehatan.

Di beberapa daerah, hingga kini, peristiwa itu masih menunjukkan bekasnya. Di daerah Gunung Kidul misalnya, pemimpin tradisional di desa-desa lenyap tak tergantikan. Sementara pemimpin yang ditunjuk pemerintah, nampak terlalu birokratis, elitis, dan semata-mata administratif. Desa-desa kehilangan kapasitas dan keberanian kreatif untuk memajukan dirinya. Mereka menjadi amat tergantung dengan apa yang digariskan pemerintah. Mereka terpaksa tunduk pada pemenang persaingan Angkatan Darat dan kader PKI yang kala itu berlomba menempatkan orang-orangnya di desa-desa, kemenangan yang disahkan dalam konsep babinsa (bintara bina desa) dan tripika (kekuasaan kecamatan tertinggi di tangan musyawarah camat, polsek, dan koramil). Tidak ada lagi pemimpin lokal : camat adalah pegawai pemerintah, sementara kepolisian dan tentara jelas-jelas berwatak komando. Desa bukan lagi komunitas terkecil dimana hidup kolektif terpelihara beserta segala tradisi di dalamnya, yang tentu menjadi penyantun kebudayaan lokal yang utama. Desa direduksi menjadi satuan administratif terbawah yang hanya berurusan dengan program dan proyek pemerintah. Pemerintah pun lantas mengembangkan aneka instrumen yang lain untuk menggulirkan roda ideologi pembangunanisme-nya. KUD yang memonopoli ekonomi desa, PKK yang mengubah perempuan pejuang menjadi wanita ibu rumah tangga, LKMD yang mengubah inisiatif lokal menjadi sekadar pemberi cap kebijakan negara.

Bertemu dengan seorang penyaksi Buru selalu sebuah pengalaman yang menakjubkan. Tatapan mata mereka, antusiasme mereka, semangat juang mereka, kepercayaan diri mereka, keberanian mereka, kelugasan dan watak kritis mereka, sesuatu yang barangkali teramat langka kini di tengah manusia-manusia generasi pembangunan negeri ini. Mereka adalah satu dari sedikit teladan manusia nusantara yang layak kita kagumi, setelah generasi ’45-‘50an yang melahirkan Soekarno dan Syahrir, dan juga guru-guru SD dan SMP dahulu : watak asih penuh pengayoman yang meneduhi dan menghidupi jiwa kebocahan kita yang masih begitu polos, lugu, namun juga rapuh. Mereka manusia-manusia yang bertahan, yang mampu bertahan, kalaupun ada satu dua orang yang sedikit menyimpang kita pun tak berhak menyalahkan, pergulatan yang pernah mereka alami sungguh tak tertandingi kita-kita yang hidup serba nyaman ini. Namun secara umum, jiwa pejuang mereka tetap terpelihara, mereka tetap tegar, ya tegar dalam upaya bertahan hidup. “Saya memulai hanya dari semangat. Ketika pertama kali kembali dari Buru, saya tahu saya diawasi orang-orang sekitar. Tapi saya memilih diam. Saya tidak berkumpul dengan teman-teman Buru, tapi saya –dan kami semua- punya program dan rencana hidup masing-masing. Kami mencoba bertahan, kami tahu, kami tak perlu (dan tak bisa) bicara apapun, tapi kami terus maju. Apa yang kami buat dengan hidup kami, itulah kesaksian yang bisa kami berikan” Begitu ungkap seorang penyaksi Buru, seorang yang tinggal satu barak dengan Pram dan membaca-mengkritik naskah-naskahnya pada saat-saat paling awal.

Dan bagaimanakah mereka bertahan ? Sebagian mereka berhimpun dalam satu usaha bertahan hidup, dari titik nol, dari bukan apa apa. Pram dan dua rekannya membangun percetakan Hasta Mitra, demikian juga dengan ribuan yang lain dengan aneka usaha ekonomi kecil-kecilan mereka. Dengan pandangan minor dari lingkungan sekitar jelas mereka kesulitan masuk ke usaha-usaha yang telah ada, apalagi lembaga pemerintahan. Maka meski tak sedikit pula yang mengabdi sebagai tenaga-tenaga pengajar, usaha wiraswasta tetaplah menjadi alternatif utama. Sebuah usaha kecil-kecilan yang begitu sering mendapat gangguan dari penguasa setempat. “Mengapa Bapak tetap menampung mereka ? Bapak tahu siapa mereka ?” tanya seorang camat pada seorang penyaksi Buru. “Saya tahu. Saya tahu pasti. Mereka satu unit dengan saya di Tefaat” sahut sang penyaksi Buru dengan mantap. “Kalau begitu mengapa Bapak masih menampung mereka ?” Sang penyaksi Buru pun kembali menyahut, “Kalau Bapak Camat bisa memberi mereka makan, bisa memberi mereka gaji sekedar untuk bertahan hidup, saat ini juga saya berani memecat mereka. Tapi kalau Bapak tidak bisa, berarti Bapak sudah menindas hak asasi manusia”. Sang camat pun terdiam. Di Yogya, mereka sempat bernaung di bawah Koperasi Mandiri yang dibangun atas dukungan gereja dan berkantor di salah satu fasilitas Yesuit, namun usaha yang sempat membesar ini pun terpaksa dibubarkan ketika mulai tercium aparat sebagai rumah para penyaksi Buru. Bantuan yang telah diberikan pun dicabut dan koperasi mereka lantas dilarang.

Apa yang bisa dilakukan seseorang ketika di wilayah publik kehadiran mereka telah terlebih dahulu ditandai dengan kode ET di KTP mereka ? Sebuah kode yang menunjukkan dosa politik yang dengan unik diwariskan ke anak cucunya. Seolah mereka semua bukan manusia, seolah mereka semua bukan warga negara, bukan bagian dari bangsa. Mereka adalah orang-orang terbelenggu di negeri merdeka. Bahkan sekalipun sebagian dari mereka menjadi pelaku dan pejuang pemerdekaan bangsanya sendiri. Mereka dijajah, di saat ini oleh generasi yang kebebasannya turut mereka perjuangkan. Mereka pun dijajah oleh anak-anak muda (dan semua orang) yang tak mau peduli dengan ketertindasan hidup mereka dan cuci tangan dari tanggung jawab memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Sebuah yayasan untuk membela dan memulihkan nama mereka ? Ya memang ada. Namun sebagian besar mereka memilih untuk tidak campur tangan secara langsung. “Saya punya anak-anak yang belum lagi mandiri, juga banyak pegawai menggantungkan hidup pada saya.” Terlalu beresiko. Namun mereka tak sama sekali diam, mereka ambil bagian dalam hal-hal yang tak terlalu berbahaya, dana misalnya. “Biarlah sekarang anak-anak eks Buru dan orang-orang muda yang bekerja, masa kami sudah lewat”

Mereka kini beranjak sepuh. “Saya telat kawin. Saya kawin ketika usia saya 45” kata penyaksi Buru dengan tertawa. Tentu saja, karena belasan tahun hak-hak mereka telah diperkosa oleh negara. Pernah mencoba nostalgia ? Kumpul-kumpul teman iya. Tapi itu seringkali tidak direncanakan. Segalanya berjalan spontan. Kalaupun direncanakan sedapat mungkin tak bocor keluar. Masih terlalu berbahaya. Setidak-tidaknya trauma itu masih kuat melekat, juga sentimen buruk masih mampu mendorong orang-orang yang tak mengerti untuk berbuat nekad. Mereka masih sering berkumpul, dalam hajatan keluarga, atau momen-momen sederhana. Itupun sudah cukup. Kadang mereka datang dari berbagai kota. Menginap ? “Gelar saja koran, mereka akan tidur bergelimpangan dengan santainya” ucap penyaksi Buru. Jiwa mereka tetaplah jiwa orang muda. Jauh lebih muda dari jiwa kita, yang terlalu cepat menua oleh televisi, selera makanan modern, juga gaya hidupnya.

Selalu ada rasa takjub yang mendalam ketika berbincang dengan para penyaksi Buru. Dengan hidup, mereka telah bersaksi. Kepada kitalah kesaksian itu disampaikan.

Yogya, 3-4 Mei 2003
Segera sesudah sebuah perbincangan