21.12.14

Gigirpasang



“Nanti sampah plastiknya dibawa pulang ya mas.” Kang Sakir sekali lagi mewanti-wanti kami untuk tidak meninggalkan sampah plastik di sekumpulan rumah di daerah Deles, Klaten, Jawa Tengah itu. Tentu, saja pemukiman yang terdiri dari 7 rumah dengan 33 jiwa itu terlalu kecil untuk disebut dusun. Gigirpasang namanya, sebuah pemukiman kecil yang menantang untuk dicapai. Tidak ada jalur sepeda motor ke sana. ya, kamu harus menyusuri anak tangga selama 45 menit untuk sampai ke gerbang pemukiman. Benar, kampung kecil itu hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki melalui rute yang menantang : selepas jalan desa engkau akan melewati jalan setapak, diikuti dengan jalan menurun yang berbelok-belok menuruni jurang di lereng tenggara Merapi tersebut, menyeberangi lembah sempit, jalan akan berubah terjal dan engkau harus menyusuri ratusan anak tangga batu dan semen yang untuk mencapainya.
Sebuah pemandangan menakjubkan yang selama ini barangkali hanya kamu lihat dalam film kungfu terpapar di depanmu : anak tangga yang sangat tinggi, dengan sebuah gerbang di atas bukit sana menantimu. Itulah Kampung Gigirpasang. Kampung yang terdiri dari satu keluarga besar yang membangun budaya unik khas milik brayat Gigirpasang.
Tak sepotong sampah plastikpun boleh ditinggalkan para tamu. Alam adalah suci dan kehormatannya tak boleh dicemari. Jangan pernah pula membawa makanan-makanan instan ke kampung itu, dengan santun mereka akan menolak kehadirannya. Dan setiap kali mereka akan menebang pohon untuk mendirikan rumah atau gawe keluarga, mereka wajib terlebih dahulu menanam pohon penggantinya. Tidak untuk generasi mereka, tetapi bagi anak-anak dan cucu mereka kelak, persis sebagaimana dulu kakek dan nenek mereka menanam pohon sebagai warisan hidup bagi generasi-generasi sesudahnya.
Gigirpasang adalah spirit yang hidup menjadi tradisi. Tanpa proposal atau naskah akademik, ia adalah keutamaan yang tertanam jauh sebelum gelisah modernitas menemukan kata-kata dan perjuangannya. Penghormatan pada bumi yang mengendap menjadi refleks dan insting hidup keseharian. Dan hati kita takjub penuh hormat padanya.

Kelimutu #1



Duduk bersila menatap Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Polo di ketinggian Tugu Sukarno, sebuah suara berkata kepadaku :
“Ketika engkau menapakkan kakimu ke anak-anak tangga menuju ketinggian ini, engkau tahu engkau menapak lebih dalam ke dalam hatimu sendiri. Waktu engkau memutuskan perjalananmu sebagai petualangan, engkau tahu engkau membuka dirimu bagi semua kemungkinan.
Menjelajahlah ke tempat yang belum pernah kamu jelajahi, pergilah ke tempat-tempat yang bahkan tak bisa kamu bayangkan, bebaskanlah dirimu dari semua imajinasi yang pernah kamu miliki, keluarlah dari dunia yang masih bisa kau kira-kira isinya, dan dengan itu engkau menghadapkan diri pada dirimu sendiri : batas-batas, ketakutan, keberanian, dan kapasitasmu sendiri. Tidak ada orang lain, tidak ada yang kau kenal, yang ada hanya kau dan dirimu sendiri.
Mungkin engkau merasa siap, tetapi kini engkau tahu engkau tak siap. Sejatinya engkau tidak pernah siap. Kesiapanmu hanya ada ketika engkau mampu memperkirakan sesuatu. Kini, tiba-tiba saja engkau kehilangan petunjuk dan batu-batu penanda kalkulasi dan imajinasimu. Engkau tak pernah tahu dunia dan peristiwa apa yang akan datang menjumpaimu.
Dan disitulah kau tahu ukuran-ukuranmu, latihan-latihan hidup yang telah kau lalui, kekosongan akibat pelajaran yang terlewatkan, kelemahan dan kekuatanmu sendiri. Mungkin, tiba-tiba engkau menggugat dirimu sendiri, merasa harus membenci dirimu sendiri atas ketidaktuntasan menyiapkan hidup. Engkau merasa malu, tetapi engkau sudah terlambat.
Sesaat engkau merasa hidup telah direnggut daripadamu , tetapi tiba-tiba engkau sadar, sejatinya engkau tak pernah memiliki hidup itu, engkau hanya diperkenankan mengisi pikiranmu dengan benda-benda, sosok manusia, dan peristiwa yang sejatinya sama sekali bukan milikmu.
Lalu tinggallah kini dirimu dan dunia tanpa batas yang terbentang di hadapanmu : engkau tahu tidak ada jalan mundur kecuali engkau menjadi pengecut. Yang ada hanyalah maju, berdiam diri berarti mati.
Yang tersisa hanyalah ini : lentera hatimu sendiri, keberanianmu, latihan-latihan yang telah engkau jalani, serta saudara-saudara jiwa yang kau temui sepanjang perjalanan.


Sibolga, pada sebuah muara




Pada sebuah muara di kota Sibolga, seorang lelaki membawa cangkulnya.
Angin senja bertiup memainkan ombak. Seorang ibu menggendong bayinya, sementara beberapa kanak berlarian di pantai. Beberapa tonggak beton penambat kapal nelayan bergulingan terpukul ombak.
Kota yang berbukit telah mengantar air ke muka pantai.  Muara adalah pertemuan antara aliran hidup yang membasuh kota dan keluasan laut yang menjadi tujuan dan hasrat semua air di bumi. Di muara sungai itu mereka bertemu. Di tepi sungai itu mereka seharusnya bertemu.
Tetapi hari itu, sebagaimana berulangkali terjadi sepanjang tahun,  air itu tidak mengalir menjumpai lautan, Ia terhenti oleh sumbatan pasir yang dihempas oleh ombak. Laut memang penuh misteri dan memiliki jiwanya sendiri : ia adalah puncak pencapaian perjuangan hasrat-hasrat sang air, tetapi pada suatu saat yang lain, ia bisa memukul balik dan menghancurkan segalanya.
Di arus sungai yang sangat tenang di muara yang datar, apalagi di musim kemarau panjang, pasir dengan mudah menutup jalan air nyaris tanpa perlawanan. Ketika gundukan pasir itu terlalu tinggi, air sungai di muara bisa meluap membanjiri perkampungan nelayan. Ketika air meluap, ia melupa kemana ia seharusnya mengalir. Lalu muara kehilangan wajahnya dan air kehilangan keteraturannya.
Di saat itulah dibutuhkan lelaki itu.
Lelaki itu mengayunkan cangkulnya ke gundukan pasir. Ia membuat selokan kecil di atas sumbatan muara. Dengan cangkulnya ia menyatukan air yang terbendung dengan luasnya lautan. Tak perlu ia membuat saluran yang terlalu lebar : kerinduan air yang terbendung itu akan membuka jalannya sendiri.
Perlahan arus air mengikis gundukan itu. Pertama-tama agak perlahan, tetapi seiring semakin luas dan dalamnya selokan, arus pun semakin cepat dan membesar. Dan sungai pun kembali dipulihkan.
Sibolga, pada sebuah senja di muara. Lampu-lampu kota yang mulai menyala dan bintang-bintang di atas Sibolga berkerlipan dengan anggunnya.