28.8.06

Manusia Buru
Sebuah Catatan Perbincangan

Selalu ada rasa takjub yang mendalam ketika berbincang dengan sosok-sosok ekstapol, khususnya mereka yang secara langsung mengalami masa-masa tefaat (tempat pemanfaatan) Pulau Buru. Mereka yang pernah mengalami ketidakadilan yang luarbiasa, yang ironisnya tidak dilakukan oleh para penjajah asing, namun justru oleh warga sebangsa seibu bumi. Mereka tiba bergelombang di awal dasawarsa ’70-an, dari penjara-penjara di pulau Jawa, khususnya Nusakambangan, ke sebuah pulau terpencil yang masih amat liar, dengan hutan dan padang ilalangnya. “Di bumi yang masih begitu perawan, kami membangun penjara kami sendiri. Membabat hutan, membangun barak, membuka sawah sekaligus aliran irigasinya. Barangkali kami adalah satu-satunya tahanan di dunia, yang mencipta sendiri penjara-penjaranya.” Begitulah kira-kira tutur Pramudya Ananta Toer dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, sebuah catatan pergulatan sekitar sepuluh ribu orang yang terusir dari bangsanya karena pertikaian politik tingkat tinggi, yang barangkali membuat miris setiap orang yang membacanya. “Kami makan apapun yang bisa kami makan. Kami berburu semua binatang, babi hutan, ular, adalah santapan setiap hari.” Begitu kisah seorang Penyaksi Buru.

Bagaimanapun, berbincang dengan mereka selalu merupakan kesempatan yang menakjubkan. Cap negatif, trauma, tabu, dan rasa enggan memang masih kuat terekam di benak kita. Pemberontakan PKI memang bukan peristiwa biasa. Setelah melalui masa ketegangan yang begitu panjang sejak awal revolusi (baik Persatuan Perjuangan Tan Malaka ataupun PKI Madiun), masa Pemilu ’55 dan ketegangan Konstituante, hingga konflik PKI dan Angkatan Darat di tahun ’60-an, dan puncaknya di tahun ’65 komunisme menjadi kata yang terlalu berat untuk kita ucapkan, apalagi dalam obrolan keseharian. Namun obrolan malam itu tetap begitu mendalam terasa. Berbincang dengan pelaku dan penyaksi peristiwa yang luar biasa. Bagi anak kemarin sore yang lahir tepat ketika gelombang terakhir pemulangan (karena tekanan internasional dan nasional, dan peran gereja yang tidak kecil di dalamnya) berlangsung di tahun 1979 dan hanya mampu meraba-raba lewat buku-buku dan kisah-kisah orang kedua, ketiga, atau entah keberapa, kisah malam itu sungguh luar biasa. Sebagian mereka tak pernah diadili, meski mereka jauh lebih beruntung dari pada lebih dari dua ratus lima puluh ribu (atau bahkan jutaan) yang lain yang tewas dalam pembantaian massal pasca pemberontakan.

Sungguh luar biasa pula ketika pada kesempatan yang berbeda, seorang penyaksi Buru yang lain mendekat dan menyapa, “Wah buku Goethe ya nak. O, Kant juga.” Kaget mendengar ucapan yang sepertinya begitu familiar dengan pemikir-pemikir besar itu, Matanya yang sepuh menyinar arif sedikit tertutup oleh rambut yang terburai liar yang mulai memutih pula. Barangkali ia bisa menjadi dosen, kalau dulu ia tidak terlibat dalam CGMI. Kini ia hanya menjadi tukang bersih-bersih yang amat sederhana, yang barangkali kita semua enggan untuk menatapnya. Betapa banyak manusia-manusia luar biasa, pemikir dan pegulat intelektual, pemimpin lokal, penggerak kaum muda yang harus dikorbankan dalam revolusi itu, yang terpaksa meninggalkan kampus, ataupun lembaga lain. Betapa kita kehilangan kontributor besar pada bangsa kita, mereka diasingkan ke Buru, untuk menebang pohon, membuka sawah, itu pun kalau mereka masih bisa bertahan hidup di tengah alam yang begitu liar (bukan berarti pekerjaan semacam ini rendah, namun mereka sebenarnya mampu memberikan kontribusi yang lebih besar untuk bangsanya). Ratusan orang telah meninggal dalam perjalanan keberangkatan, di atas kapal yang sama sekali tak memadai fasilitasnya, jenasah mereka dibuang ke laut sementara teman-teman mereka di kapal harus berjuang dalam kekurangan makanan, air minum, sanitasi, dan sarana kesehatan.

Di beberapa daerah, hingga kini, peristiwa itu masih menunjukkan bekasnya. Di daerah Gunung Kidul misalnya, pemimpin tradisional di desa-desa lenyap tak tergantikan. Sementara pemimpin yang ditunjuk pemerintah, nampak terlalu birokratis, elitis, dan semata-mata administratif. Desa-desa kehilangan kapasitas dan keberanian kreatif untuk memajukan dirinya. Mereka menjadi amat tergantung dengan apa yang digariskan pemerintah. Mereka terpaksa tunduk pada pemenang persaingan Angkatan Darat dan kader PKI yang kala itu berlomba menempatkan orang-orangnya di desa-desa, kemenangan yang disahkan dalam konsep babinsa (bintara bina desa) dan tripika (kekuasaan kecamatan tertinggi di tangan musyawarah camat, polsek, dan koramil). Tidak ada lagi pemimpin lokal : camat adalah pegawai pemerintah, sementara kepolisian dan tentara jelas-jelas berwatak komando. Desa bukan lagi komunitas terkecil dimana hidup kolektif terpelihara beserta segala tradisi di dalamnya, yang tentu menjadi penyantun kebudayaan lokal yang utama. Desa direduksi menjadi satuan administratif terbawah yang hanya berurusan dengan program dan proyek pemerintah. Pemerintah pun lantas mengembangkan aneka instrumen yang lain untuk menggulirkan roda ideologi pembangunanisme-nya. KUD yang memonopoli ekonomi desa, PKK yang mengubah perempuan pejuang menjadi wanita ibu rumah tangga, LKMD yang mengubah inisiatif lokal menjadi sekadar pemberi cap kebijakan negara.

Bertemu dengan seorang penyaksi Buru selalu sebuah pengalaman yang menakjubkan. Tatapan mata mereka, antusiasme mereka, semangat juang mereka, kepercayaan diri mereka, keberanian mereka, kelugasan dan watak kritis mereka, sesuatu yang barangkali teramat langka kini di tengah manusia-manusia generasi pembangunan negeri ini. Mereka adalah satu dari sedikit teladan manusia nusantara yang layak kita kagumi, setelah generasi ’45-‘50an yang melahirkan Soekarno dan Syahrir, dan juga guru-guru SD dan SMP dahulu : watak asih penuh pengayoman yang meneduhi dan menghidupi jiwa kebocahan kita yang masih begitu polos, lugu, namun juga rapuh. Mereka manusia-manusia yang bertahan, yang mampu bertahan, kalaupun ada satu dua orang yang sedikit menyimpang kita pun tak berhak menyalahkan, pergulatan yang pernah mereka alami sungguh tak tertandingi kita-kita yang hidup serba nyaman ini. Namun secara umum, jiwa pejuang mereka tetap terpelihara, mereka tetap tegar, ya tegar dalam upaya bertahan hidup. “Saya memulai hanya dari semangat. Ketika pertama kali kembali dari Buru, saya tahu saya diawasi orang-orang sekitar. Tapi saya memilih diam. Saya tidak berkumpul dengan teman-teman Buru, tapi saya –dan kami semua- punya program dan rencana hidup masing-masing. Kami mencoba bertahan, kami tahu, kami tak perlu (dan tak bisa) bicara apapun, tapi kami terus maju. Apa yang kami buat dengan hidup kami, itulah kesaksian yang bisa kami berikan” Begitu ungkap seorang penyaksi Buru, seorang yang tinggal satu barak dengan Pram dan membaca-mengkritik naskah-naskahnya pada saat-saat paling awal.

Dan bagaimanakah mereka bertahan ? Sebagian mereka berhimpun dalam satu usaha bertahan hidup, dari titik nol, dari bukan apa apa. Pram dan dua rekannya membangun percetakan Hasta Mitra, demikian juga dengan ribuan yang lain dengan aneka usaha ekonomi kecil-kecilan mereka. Dengan pandangan minor dari lingkungan sekitar jelas mereka kesulitan masuk ke usaha-usaha yang telah ada, apalagi lembaga pemerintahan. Maka meski tak sedikit pula yang mengabdi sebagai tenaga-tenaga pengajar, usaha wiraswasta tetaplah menjadi alternatif utama. Sebuah usaha kecil-kecilan yang begitu sering mendapat gangguan dari penguasa setempat. “Mengapa Bapak tetap menampung mereka ? Bapak tahu siapa mereka ?” tanya seorang camat pada seorang penyaksi Buru. “Saya tahu. Saya tahu pasti. Mereka satu unit dengan saya di Tefaat” sahut sang penyaksi Buru dengan mantap. “Kalau begitu mengapa Bapak masih menampung mereka ?” Sang penyaksi Buru pun kembali menyahut, “Kalau Bapak Camat bisa memberi mereka makan, bisa memberi mereka gaji sekedar untuk bertahan hidup, saat ini juga saya berani memecat mereka. Tapi kalau Bapak tidak bisa, berarti Bapak sudah menindas hak asasi manusia”. Sang camat pun terdiam. Di Yogya, mereka sempat bernaung di bawah Koperasi Mandiri yang dibangun atas dukungan gereja dan berkantor di salah satu fasilitas Yesuit, namun usaha yang sempat membesar ini pun terpaksa dibubarkan ketika mulai tercium aparat sebagai rumah para penyaksi Buru. Bantuan yang telah diberikan pun dicabut dan koperasi mereka lantas dilarang.

Apa yang bisa dilakukan seseorang ketika di wilayah publik kehadiran mereka telah terlebih dahulu ditandai dengan kode ET di KTP mereka ? Sebuah kode yang menunjukkan dosa politik yang dengan unik diwariskan ke anak cucunya. Seolah mereka semua bukan manusia, seolah mereka semua bukan warga negara, bukan bagian dari bangsa. Mereka adalah orang-orang terbelenggu di negeri merdeka. Bahkan sekalipun sebagian dari mereka menjadi pelaku dan pejuang pemerdekaan bangsanya sendiri. Mereka dijajah, di saat ini oleh generasi yang kebebasannya turut mereka perjuangkan. Mereka pun dijajah oleh anak-anak muda (dan semua orang) yang tak mau peduli dengan ketertindasan hidup mereka dan cuci tangan dari tanggung jawab memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan. Sebuah yayasan untuk membela dan memulihkan nama mereka ? Ya memang ada. Namun sebagian besar mereka memilih untuk tidak campur tangan secara langsung. “Saya punya anak-anak yang belum lagi mandiri, juga banyak pegawai menggantungkan hidup pada saya.” Terlalu beresiko. Namun mereka tak sama sekali diam, mereka ambil bagian dalam hal-hal yang tak terlalu berbahaya, dana misalnya. “Biarlah sekarang anak-anak eks Buru dan orang-orang muda yang bekerja, masa kami sudah lewat”

Mereka kini beranjak sepuh. “Saya telat kawin. Saya kawin ketika usia saya 45” kata penyaksi Buru dengan tertawa. Tentu saja, karena belasan tahun hak-hak mereka telah diperkosa oleh negara. Pernah mencoba nostalgia ? Kumpul-kumpul teman iya. Tapi itu seringkali tidak direncanakan. Segalanya berjalan spontan. Kalaupun direncanakan sedapat mungkin tak bocor keluar. Masih terlalu berbahaya. Setidak-tidaknya trauma itu masih kuat melekat, juga sentimen buruk masih mampu mendorong orang-orang yang tak mengerti untuk berbuat nekad. Mereka masih sering berkumpul, dalam hajatan keluarga, atau momen-momen sederhana. Itupun sudah cukup. Kadang mereka datang dari berbagai kota. Menginap ? “Gelar saja koran, mereka akan tidur bergelimpangan dengan santainya” ucap penyaksi Buru. Jiwa mereka tetaplah jiwa orang muda. Jauh lebih muda dari jiwa kita, yang terlalu cepat menua oleh televisi, selera makanan modern, juga gaya hidupnya.

Selalu ada rasa takjub yang mendalam ketika berbincang dengan para penyaksi Buru. Dengan hidup, mereka telah bersaksi. Kepada kitalah kesaksian itu disampaikan.

Yogya, 3-4 Mei 2003
Segera sesudah sebuah perbincangan

2 comments:

aku cinta hujan said...

mas, aku punya pengalaman juga ketemu ekstapol di sulawesi tenggara, Kendari. ironisnya, meski mereka tinggal dalam kota, mereka diasingkan di sebuah kelurahan yang tak diberi listrik dan air bersih. benar-benar meyedihkan. hidup di tengah kemajuan dan hiruk-pikuk tapi diasingkan.

sangkebenaran said...

http://sangkebenaran.blogspot.com/

Inilah contoh ajaran pedofilia Muhammad:

Dikisahkan Jabir bin 'Abdullah: Ketika aku menikah, Rasullah bersabda kepadaku, perempuan macam apa yang kamu nikahi? Aku menjawab, aku menikahi seorang janda muda? Beliau bersabda, Mengapa kamu tidak bernafsu pada para perawan dan memanjakannya? Jabir juga berkisah: Rasullah bersabda, mengapa kamu tidak menikahi seorang perawan muda sehingga kamu dapat memuaskan nafsumu dengannya dan dia denganmu?

Hadits Bukhari Vol.7, Kitab 62, Pasal 17.


A'isyah (Allah dibuatnya bahagia) diceritakan bahwa Rasullah (semoga damai sejahtera atas beliau) dinikahi ketika usianya tujuh tahun, dan diambilnya untuk rumahnya sebagai pengantin ketika dia sembilan tahun, dan bonekanya masih bersamanya; dan ketika beliau (Nabi Yang Kudus) mampus usianya delapan belas tahun..

Kitab Sahih Muslim 8, Pasal 3311.


Dikisahkan A'isyah: bahwa Nabi menikahinya ketika dia berusia enam tahun dan menikmati pernikahannya ketika berusia sembilan tahun. Hisham berkata: Aku telah menceritakan bahwa A'isyah menghabiskan waktunya dengan Nabi selama sembilan tahun (yaitu hingga kematiannya).

Bukhari Vol.7, Kitab 62, Pasal 65.


Muhammad telah bernasu birahi kepada anak berusia enam tahun. Apa yang tersimpan di dalam otak Muhammad? Apa pikiran mesum nabi merupakan perbuatan suci? Seorang anak kecil Muhammad nodai dalam nama allah. Dalam ilmu psikologi moderen, yang dilakukan Muhammad disebut pedofilia, dan seorang yang melakukan pedofilia dapat dikenakan sanksi hukuman mati, karena telah merampas masa depan anak-anak, dan membuat anak-anak menderita trauma kejiwaan.


Sekali lagi liat bukti pedofilia Muhammad!!!

Dikisahkan A'isyah: bahwa Nabi menikahinya ketika dia berusia enam tahun dan menikmati pernikahannya ketika berusia sembilan tahun.


Bukhari Vol.7, Kitab 62, Pasal 65.

Ketika Muhammad mampus usia A'isyah delapan belas tahun.

Kitab Sahih Muslim 8, Pasal 3311.