28.8.06

Air, Komunikasi, dan Modernitas

Air. Dalam banyak mitologi di muka bumi , air menjadi simbol ibu. Masyarakat Jawa yang hidup di bawah buana mitologis Kerajaan Mataram, mereka yang tinggal selatan Gunung Merapi mengalami metafora empat elemen kehidupan, lemah, geni, banyu, angin, -tanah, api, air, angin- dalam simbolisme alam fisik yang menakjubkan. Gunung Merapi mewakili elemen bumi (tanah) dan api, Laut Selatan mewakili air dan angin. Laki-laki dan perempuan. Gunung dan lautan.
Kebangkitan teologi feminis, konsepsi Allah Ibu, tentu saja adalah bagian dari upaya panjang pencarian jalan pulang. Rute keadaban dunia, dalam dominasi tradisi religius agama-agama Samawi, memang menggiring evolusi kebudayaan manusia dalam garis edar maskulinis. Harus dihancurkannya dunia lama, untuk digantikan dunia baru, didasarkan pada klaim doktrin benda penjal dalam ilmu-ilmu alam, dua benda tidak mungkin menghuni satu ruang-waktu yang sama. Maka dunia keadaban manusia modern mengisyaratkan “creative destruction” penghancuran kreatif, sebagai prasyarat mutlak berlangsungnya penciptaan. Atas dasar logika inilah, dunia modern diletakkan, menginspirasi gerak kemajuan modernitas melalui rute yang tak ramah pada nasib manusia itu sendiri : penggusuran-penggusuran dan penindasan di dunia kapitalis, kebijakan ‘pembangunan dari titik nol’ ala sosialisme Stalin dan Pol Pot, pembantaian ala Hitler dalam negara-negara kaum nasionalis-fasis, hingga fatalisme religius para teroris.
Namun demikian, ada unsur kunci yang lain dalam bangunan modernitas : rasionalitas sebagai cara pandang dominan, nilai-lebih, sebagaimana berhasil dikonstruksi oleh Marx, sebagai kunci reproduksi sosial dan akumulasi sumberdaya, serta alienasi, pengasingan manusia dari kemanusiaannya sendiri.

Alienasi, komunikasi, dan makna hidup
Kemajuan peradaban modern secara ironis dimulai, justru karena manusia berhasil menemukan cara untuk berpisah, menjarakkan diri dari dirinya sendiri. Jika kedekatan interpersonal dan bentuk relasi-relasi primordial ini dapat disebut komunikasi, dapat dikatakan modernitas berjalan karena terlebih dahulu telah berhasil dilakukan penggeseran moda komunikasi, sebagai bahasa ekspresi hidup komunal dan mediasi budaya, menjadi bahasa teknis dan instrumental.
Ada dua altar pengorbanan komunikasi komunal dalam peradaban modern : di atas meja bedah ilmu-ilmu modern dengan kerja obyektivikasi atas realitasnya, sebuah pemisahan subyek dan obyek pengetahuan, serta dalam alienasi yang dipuja-puja dalam pemisahan kerja dan manusia, yang menjadikan manusia-buruh sebagai baut-baut penghubung mesin-mesin produksi dari semestas sistem kapitalis.
Begitulah cara kita berpikir dan cara kita memandang kehidupan menemukan bentuk dan manifestasinya. Hubungan penguasaan atas alam dan kehidupan, hubungan manusia satu dengan yang lain, dan paling parah, hubungan manusia dengan kebermaknaan diri dan kehidupannya. Celakanya, kita dengan mudah bisa menemukan pembenaran tindakan ini dalam teks-teks kitab suci. Penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara… begitu kata Kitab Kejadian.

Air, komunikasi, dan kapitalisasi kehidupan
Dalam kultur tradisional tak heran bila bentuk-bentuk komunikasi komunal itu berlangsung tak jauh dari air : mencuci dan mandi bersama di telaga, di sungai, di mata air kecil di pelosok-pelosok dusun. Laki-laki perempuan, anak-anak dan dewasa, semua menyatu, membuka diri untuk disucikan dan dipersembahkan kepada jernihnya Sang Pangkal kehidupan. Kebersamaan yang tulus, jauh dari kecurigaan dan perendahan dogmatik agama-agama besar perkotaan akan arti tubuh fisik dan kedalaman budi manusia, jauh dari komersialisasi nafsu lawan jenis dari budaya modern.
Tentu, kebutuhan biologis akan air tak terelakkan oleh segala yang hidup di bumi, artinya secara nalar wajar kalau air menjadi titik simpul interaksi sosial masyarakat di sekitarnya, toh semua orang membutuhkan air. Namun sayangnya pandangan sinis kaum rasionalis ala ahli sosiologi Emile Durkheim ini tak cukup menjelaskan kekuatan simbolik dari air, yang telah begitu banyak menginspirasikan mitos, legenda, dan kisah-kisah spiritual sepanjang sejarah manusia.
Hanya dalam masyarakat modern air itu dipisahkan dari karakter komunalnya : dikemas, dibotolkan, dijerigenkan, dipipanisasi, dijual ke konsumen individual di rumah tangga. Hubungan manusia dan air menjadi sekedar hubungan konsumsi. Manusia dikonsumenkan, air yang semula satu, dalam wadah besar telaga kehidupan menjadi paket-paket kecil tanpa bobot antropologis apapun. Air berakhir sebagai mediasi budaya, sebagai medium komunikasi umat manusia.

Ibu dan komunikasi feminim, sebuah kerinduan antropologis
Kisah tragis pengasingan air dan pergeseran moda komunikasi masyarakat yang tercipta atasnya, adalah kisah tragis kemanusiaan itu sendiri. Berakhirnya manusia sebagai akar dan pangkal keberadaban, berakhirnya martabat kemanusiaan sebagai pembentuk utama kehidupan, tunduk oleh kuasa modal, kuasa pemupukan nilai lebih, kapitalisasi kehidupan.
Air, komunitas, komunikasi, dan pencitraan Allah Ibu itu sendiri pada hakikatnya adalah satu. Maka jelas mengapa kita semua saat ini rindu, bukan hanya sebuah kerinduan nostalgis, namun kebutuhan hakiki untuk mempertahankan kemanusiaan. Sebuah keadaban pengasuhan seorang Ibu, dimana kehidupan melestarikan dirinya dengan saling merawat dan berbagi. Di sinilah, sebagai sebuah format interaksi sosial manusiai, moda komunikasi feminim menjadi sungguh-sungguh punya arti.

rumah orangmuda, 2006

No comments: