25.8.08

Rumah Indonesia

Cyprianus Lilik K. P.*

Lahir dan tumbuh sebagai sebuah komunitas etos menyulitkan kita untuk terus bersatu dan bertahan melampaui jaman. Pengalaman hidup yang direfleksikan sebagai takdir, nasib, ketiadaan, kegagalan kesalehan religius, ketidakadilan dan kemanusiaan, hingga romantis petualangan revolusioner itu terombang-ambing di laut sejarah. Maka etos dinisbikan oleh peristiwa-peristiwa, karena pengalaman dan nasib tak memiliki batas jelas dan tetap secara sosiologis dan demografis : siapa yang terlibat dan tak terlibat, siapa korban dan pelaku, siapa rugi siapa diuntungkan. Terlebih lagi, konstruksi sosial mesin harapan yang lahir dari perjuangan kesamaan nasib itu sendiri justru berbalik menjadi mekanisme reproduksi ketidakadilan dan kesenjangan.

Sedemikian jauh pertumbuhan dan pergerakan bangunan negara-bangsa telah menghancurkan imajinasi kolektif yang terbangun di awal kelahirannya. Indonesia, sebagaimana banyak entitas negara-bangsa di Dunia Ketiga yang lain, telah bergeser dari cita-cita menjadi kenangan dan mimpi buruk massal. Dari masa depan ke masa lalu. Meninggalkan kisah-kisah perlawanan menjadi tak lebih dari legenda purba yang padat bunga-bunga cerita. Sejarah yang ditulis pahlawan-pahlawan, dengan cepat terhapus generasi demi generasi yang datang, diganti dan ditumpuki catatan-catatan baru dari jaman ke jaman. Apa yang dibangun dan dihancurkan, akan kembali dibangun dan dihancurkan. Negara-bangsa Dunia Ketiga ibarat gubuk-gubuk di pinggiran rel kereta api : dibangun, ditambah, dikurangi, ditambah lagi. Simpul sejarah yang terus ditambal sulam.

Indonesia sebagai Fakta Kebudayaan

Cyprianus Lilik K. P.*

Tergetar, jiwa dan rasa Tan Malaka muda, Ki Hajar muda, Sukarno muda dan Yamin muda bertatap muka dengan kebudayaan. Digerakkan oleh benih-benih kesadaran yang belum jelas bentuk dan wajahnya, tetapi dirindukan dan dihayati dengan penuh cinta keterpesonaan. Bukan sebagai sensasi-sensasi sebagaimana kini dimengerti oleh generasi televisi, tetapi sebuah gairah pemerdekaan, yang masih berselimut kabut, kabut pagi penuh pengharapan. Menggemakan aura agung tradisi dan materialitas kesejarahan nusantara, beraduk dengan progresivitas kemudaan anak-anak yang dilahirkan dari jaman peralihan.

Demikian sesungguhnya Republik ini, mimpi ini, yang dinamakan nusantara oleh EFE Douwes Dekker dan Indonesia oleh Ki Hadjar Dewantara –dengan meredefinisi secara politis kosakata etnologi James Richardson Logan-, lahir sebagai persilangan dari materialitas tradisi dan humanisme Barat. Sebuah benturan dan interaksi antropologis yang melahirkan satu klan besar, klan Indonesia. Inilah state of nature yang melahirkan spesies baru kebudayaan dalam risalah peradaban dunia.

Persilangan yang tak hanya muncul sebagai mimpi kolektif dan gelisah sosial-religius Imam Mahdi atau resistensi kultural-kerakyatan ala Samin, tetapi berkat pendidikan humanis liberal Van Deventer dengan triloginya, lahir pula sebagai generasi. Generasi yang berfungsi sebagai basis material bagi mimpi-mimpi bersama bangsa dan saudaranya. Generasi yang isi kepala dan seluruh tubuhnya tak akan lagi bisa menghuni bumi tradisi atau dengan mudah terhisap masuk ke feodalisme kaprajan kolonial.
Menggagas Indonesia Postdevelopmental

Lilik Krismantoro*

Kegamangan Postkolonial
Selewat periode gegap gempita negara-negara baru pascapenjajahan di tahun 1950an dan 1960an, selewat periode konsolidasi birokratik kekuasaan lewat negara developmental, segera sesudah arus deras neoliberalisme menyerbu setelah runtuhnya Perang Dingin sebagai tembok-tembok ideologis pembentuk aristektur politik global, sebuah kegamangan eksistensial melanda bangsa-bangsa di daerah-daerah kurang berkembang di muka bumi.

Kegamangan ini bukan hanya di permukaan, sejatinya, yang sedang terjadi adalah kegamangan postkolonial, sebuah fase reflektif yang buram akibat kegagalan struktur negara-bangsa Barat di bumi Dunia Ketiga. Kalau berpalingnya negara-negara Dunia Ketiga dari api solidaritas negara berkembang yang dinyalakan Sukarno, Nehru, Nasser, Tito, dan kawan-kawan menjadi developmentalisme sedikit banyak dipengaruhi dari problem pragmatik kegagalan institusionalisasi ekonomi yang pro kemiskinan (yang harus dilihat pula secara kritis sebagai akibat intervensi sistematis Barat melalui berbagai cara), kegamangan postkolonial atas lembaga-lembaga negara-bangsa produk evolusi politik Barat dipengaruhi atas disadarinya kelumpuhan institusi-institusi modern ini dalam merespon ekspansi massif kapital di samping muncul pula kesadaran mendalam akan agenda tersembunyi neokolonisasi dalam developmental negara yang diusung Barat.
Rekonsiliasi
Cyprianus Lilik K. P. *

Apa arti nasionalisme buatmu ? Apa arti menjadi Indonesia? Tanyakan pertanyaan ini pada sekian banyak orang muda, tanyakan pada diri kita sendiri, dan kita semua dibuat gelisah karenanya. Barangkali hanya anak-anak yang memiliki jawaban relatif lengkap dan positif pada pertanyaan ini, tetapi itu takkan berlangsung lama.

Tentu saja, karena semoga masih segar di kepala mereka pelajaran kebangsaan yang mereka peroleh. Tetapi biarpun mereka bisa menjawabnya, toh jawaban-jawaban itu tak lagi selengkap jawaban anak-anak sekolah di masa Orde Baru dulu. Benar memang jawaban ini lahir dari indoktrinasi, tetapi ketidakmampuan kita memandang positif diri kebangsaan kita sendiri, bahkan merasakan kehadiran diri kebangsaan itu sebagai bagian eksistensial dari individualitas kita, bagaimanapun adalah sebuah kehilangan yang besar.


Dendam Keindonesiaan

Barangkali karena kita semua punya dendam. Kiri, kanan, eks komunis hingga religius radikal, suku-suku di rimba Papua hingga juragan Cina kaya, kita semua tentu saja punya dendam, dendam keindonesiaan. Agaknya kita semua telah menjadi korban, tetapi semestinya perasaan sama korban ini bisa menyatukan. Menggiring kembali pada rindu kesatuan yang memerdekaan. Tetapi faktanya tidak, sebab ketertindasan kita bukanlah satu ketertindasan. Ketertindasan kita adalah ketertindasan rejim cerdas yang berhasil menjadikan yang satu penindas yang lain, yang satu hantu bagi yang lain. Dengan ini tiran membangun mata air abadi bagi legitimasi kekuasaan, mata air air mata yang takkan habis sejauh kisah-kisah kebencian terus dituturkan dari obrolan ke obrolan. Curiga dan sengketa tertanam jauh di dalam benak kita. Lebih kuat dari kebudayaan moyang, dirajut dalam identitas personal, disuntikkan ke mata sebagai distorsi optis sosiologis, meluncur dari bibir dan lidah kita tiap kali kita berkata-kata.

Lalu ketika rejim itu menghilang, kita tiba-tiba kehilangan cara mendefinisikan diri. Kehilangan pengkisah tidur malam ketertindasan, sekalipun kisah itu berlumuran darah, sekalipun kisah itu meninabobokan kita dari penghisapan terus-menerus atas diri sosial, diri fisik, dan diri ekologis kita.