11.1.07

Antitesa Indonesia

Indonesia adalah sebuah antitesa.
Seperti puluhan negara Dunia Ketiga yang lain, yang bangkit dari penjajahan Barat tahun ’40 hingga ‘70an, Indonesia adalah sebuah antitesa. Batas-batas yang tercipta, geografis, kultural, politis, sampai tingkat tertentu dibentuk oleh praksis kolonialisme sebagai tesa.
Kontruksi antitesa memiliki konsekuensi logis, ia lebih banyak tergantung pada pertama, pembayangan akan tesa -lawan biner dari dirinya-, kedua, pada bagaimana imajinasi bersama dipertahankan mengingat modal jejaring serat-serat kultural tak begitu mencukupi –kalau perlu dengan indoktrinasi dan kekerasan; dan ketiga tentu saja, bergantung pada mesin kolektif sebuah bangsa, ini berarti pemerintah, sebagai konsolidasi bukan hanya tugas-tugas fungsional, tetapi sebagai penggumpalan terbesar sekaligus mandataris fungsional dari mimpi bersama sebagai antitesa.
 Dan lantaran karakter pola-pola dialektis dibentuk tidak hanya dari derivasi tesa, tetapi juga konstitusi lingkungan pergaulan hidup jaman dari kebudayaan manusia sebagai medium konstruksi identitas diri bagi antitesa, tak pelak lagi, identitas antitesa adalah produk, bukan hanya politis, namun juga sosiologis dari jamannya. Dan tentu juga, dinamika eksistensial dirinya tunduk pada hukum-hukum kolektif, pada ritme dan warna tiap jaman, pada kata dan kosakata sejarah, pada buih dan didihan, pada damai dan kebisuan waktu. Ketika genetik kepribadian antitesa berjajar dengan zeitgeist, roh jamannya, ia menjadi kuasa paling artikulatif, bukan hanya bagi dirinya sendiri, namun bagi keseluruhan jaman itu, bagi semua orang –terlebih mereka yang tertindas- di jaman itu. Gandhi, Sukarno, Castro dan Guevara, Bob Marley, hingga Osama dan Hizbullah di Libanon.
Pula sebaliknya, ketika keduanya berlawanan atau tak saling sepadan, sang antitesa gagap mencari kata-kata mengaktualisasikan dirinya, tidak hanya ‘tidak ada’ di dunia dan remang pada diri sendiri, tapi juga pada anak-anak dari jamannya, orang-orang muda.