28.8.06

Kebudayaan bukan Klangenan

Ada beberapa syarat sebuah aktivitas menjadi klangenan : pertama, ia tidak menduduki kedudukan sentral dalam hidup sehari-hari, ia hadir sebagai hiburan, sebagai sampiran; kedua, karenanya ia adalah produk kelas sosial yang memampukannya memiliki kemewahan’waktu senggang’; ketiga, karena itu pula ia bermakna simbolik bagi para pelakunya.
Klangenan barangkali salah satu dari produk pertama ekonomi waktu dalam kultur Jawa. Ia diusung oleh lembaga-lembaga birokrasi kolonial yang mengatur para pegawainya dalam lingkar rutinitas waktu harian. Melahirkan kultur kaprajan yang mungkin jauh lebih aristokratik daripada Kraton sendiri. Meminjam gagasan Geertz tentang negara teater, imajinasi pinggiran atas pusat tradisi melampaui cara-cara pusat itu sendiri menyatakan dirinya. Dari sini lahirlah mitos dahsyat yang melahirkan antipati pada kultur Jawa, bahkan, dan sungguh sebuah tragedi, di hadapan masyarakatnya sendiri. Mitos tentang kultur priyayi yang menjadi cara rumah produksi dalam aneka sinetronnya melukiskan kebudayaan Jawa : selalu lengkap dengan pemahamannya yang tak karuan tentang tata krama, rumah kuno, pakaian, dan jangan lupa pula, burung perkutut. Bahkan Butet dan Teater Gandrik yang latar kulturalnya kuat pun tak bosan-bosan dengan lelucon ‘wagu’ dari kultur priyayi ini, dan justru menjadi pengkotbah-pengkotbahnya yang utama.
Kagunan, yakni aspek fungsionalitas dari sebuah kegiatan atau benda, menjadi kontraposisi dari klangenan. Nah, mungkin di aspek kagunan inilah keheranan saya atas rencana Kraton berkongsi dengan investor untuk membangun mall bisa terjawab. Tentu saja, kagunan bagi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang memang butuh kapital sekedar untuk mengganti atap dan mengecat tembok-temboknya yang sering jadi korban rebutan klaim teritorial gang-gang anak muda itu.
Tapi benarkah kebudayaan Jawa tak lagi bisa dihidupi sebagai kagunan ? Mungkin ya, menilik hidup ekonomi yang mesti kita lakoni dalam kerasnya jaman kapitalisme ini. Ia hanya sebuah klangenan, persis seperti dolan ke mall adalah klangenan bagi orang-orang muda dari jaman kita. Hidup ekonomi saat ini jauh lebih berharga daripada hidup kultural. Kapitalisme memang tak pernah menerima kebudayaan, kecuali kalau ia bisa dijual, atau bisa menunjukkan kelas sosial dari pelibatnya. Kebudayaan sebagai makna dan praksis laku hidup dalam cucuran keringat kerja keras keseharian, jelas-jelas di luar kamus.
Sejak lama Kraton memang telah berlatih untuk menghidupi ‘klangenan’ publik sebagai ‘kagunan’ bertahan hidupnya. Turisme itu klangenan, rokok pun sedikit banyak demikian, mengapa tak membuat mall sekalian ?
Seberapa jauh ideologi neoliberal ini masuk ke dalam Kraton Yogyakarta ? Kalau mengingat hidup kosmopolit yang dilakoni elit-elitnya, integrasinya dengan ekonomi turisme, kehadiran rokok Kraton Dalem, hingga Bale Raos dan Sarinah, yang umbul-umbulnya memadati Jalan menuju Kemagangan, agaknya memang tidak dapat dipungkiri lagi dominannya neo liberal dalam tubuh patron tradisi kita itu. Tak bisakah Kraton Yogyakarta mencari sekutu lain ? Sekutu yang tak gampang memang, karena pasar tetaplah lokus utama sirkulasi uang. Tidakkah ia bisa bersekutu dengan para intelektual yang ‘licik’ bermain strategi kebudayaan untuk bisa membuatnya bertahan ? Bukankah pendidikan dan Kraton adalah kekasih satu joli di bumi selatan Merapi ini ? Mengapa justru Kraton berselingkuh dengan pasar ? Mungkinkah karena pendidikan di kota ini kondang berlirikan mata dengan kekuasaan ? Tak mau jadi teman prihatin beralas tikar bernasi jagung ?
Kita masih bisa memahami Kraton Dalem, yang punya potensi mendekatkan diri Kraton pada rakyat kecil lewat rokok murahnya, demikian juga Bale Raos dan Sarinah yang memang melayani kebutuhan dunia turisme yang memang padat konsumsi simbolik itu. Tapi kehendak Kraton untuk membangun mall yang nota bene juga sarat pesan konsumsi simbolik itu yang sungguh-sungguh kita tak bisa mengerti. Memang secara geografis ia tak begitu dekat dengan pusat tradisi (dan sejak dibangunnya Hotel Ambarukmo sebagai kado pampasan Perang Dunia II dari Jepang kepada pemerintah RI, kawasan timur laut Yogya itu agaknya memang menjadi pusat persekutuan Kraton Yogyakarta dengan ekonomi pasar), namun dalam rantai reproduksi makna, sebagai katedral kebudayaan populer, sungguh mall adalah pabrik paling besar dari racun pembunuh terampuh bagi tradisi. Sungguh, bunuh diri kultural inilah yang saya tak bisa mengerti.
Atau mungkin mall itu sendiri menjadi semacam klangenan bagi Kraton. Mall sendiri memang hidup dari waktu senggang, ia tidaklah cukup fungsional secara material (walau memang memenuhi tuntutan ‘kagunan’ dalam artian simbolik), dan karena simbolis, ia menunjukkan kelas elitisme sendiri bagi para pemiliknya (setidaknya dalam hal ini, walau tidak secara kapital, pemilik politis dari padanya). Barangkali Kraton bermimpi menjadi penguasa ‘waktu senggang’. Tapi ini tak cukup membuat saya mengerti. Sebagai orang Jawa saya hanya merasa diselingkuhi.

Yogyakarta, 8 Maret 2004

No comments: