25.12.14

11 Juni 2011



Aku melihat seorang gelandangan dengan tubuh sangat kurus di pinggir jalan Cik Di Tiro, utara Gramedia. Aku melewatinya, tapi aku gelisah dan mengeceknya. Dia masih bernafas. Aku mampir mencari minuman dan roti di warung di dekatnya. Tidak ada roti. Aku membeli air kemasan dan meletakkan di sampingnya.
Aku masuk dan membaca buku di Gramedia. Sebuah buku besar jatuh berdebum di belakangku. Aku melirik. Aku diam saja. Ada seorang pemuda mencari buku, melihat buku jatuh itu, dan ia diam saja. Seorang perempuan sedikit lebih tua, melakukan hal yang sama. Satu jam lebih buku itu di sana. Aku tetap membaca tak jauh dari situ. Sekali-kali melirik ke buku itu. Beberapa orang yang lain datang dan mengulangi hal yang sama. Aku  melihat jamku. Waktuku kembali ke rumah. Aku meletakkan buku yang aku baca kembali ke tempatnya. Aku memungut buku itu dan mengembalikan pada tempatnya.
Aku di shelter trans Jogja, ada seorang pemuda salah turun. Dia bertanya pada penjaga shelter, yang juga tidak tahu tempat itu. Aku yang duduk di dekatnya berdiri dan memberi tahu, nanti di shelter dekat kali Code mas.” Dia tersenyum dan berterimakasih. Dia duduk di bangku yang semula aku duduki.
Menjelang perempatan Kantor Pos Besar, ada seorang bapak naik dengan menggendong anaknya. Tidak jauh dariku. Tetapi bis penuh. Aku diam saja, dengan alasan bis terlalu penuh. Di shelter depannya banyak penumpang turun, bapak dan anak itu berjalan ke begian belakang bis. Sepertinya mereka mendapat tempat duduk.
Aku pulang berjalan menuju rumah. Beberapa anak kecil bermain dengan sepedanya. “Tapi jangan melindas kadalnya ya” Kata salah seorang gadis mungil di situ.”Kadal yang mana?” lalu mereka merubungi kadal di tengah jalan. Aku melewatinya, kadal itu setengah mati terlindas kendaraan, isi perutnya keluar tetapi ekor dan kepalanya masih bergerak-gerak.
Kalau aku punya anak nanti, persetan dengan les sekolah, kursus komputer, Bahasa Inggris, dan musik. Aku akan mencari kursus yang bisa mengajari anak-anakku untuk gelisah tentang kadal itu.


Ibu : sebuah pagi di negeri hujan




Pagi hari terang di langit, tapi gerimis terus saja. Gerimis adalah legenda, kini legenda itu menghampiri jendela kamarku. Di situ di tanah coklat di bawah jendela, cekungan-cekungan kecil oleh tetes-tetes hujan, menyisakan batu dan kerikil, sepotong rumput bergoyang di genang air. Di cekungan-cekungan itulah dulu kakek nenek kami biasa membuang botol-botol dengan menanamnya terbalik untuk menjaga dan merawat tanah. Kini botol lebih berharga daripada tanah. Urusan perut tentu tak bisa dikalahkan.

Atma namaku. Jiwa yang berkelana. yang gelisah oleh desaku yang beranjak mengkota, dan kota terlalu asing bagi manusia. Menatap hujan yang semakin jauh dari kanak-kanak. Merenungkan kanak-kanak yang kehilangan kesempatan merayakan hidup di bawah derai-derai hujan. Merenungkan para orang tua yang terlalu takut anak-anaknya berhujan-hujan dan belajar langsung pada sang alam. Merenungkan kemanusiaan yang menyerahkan kesatuannya pada alam ke tangan para ilmuwan demi “kesehatan dan pola hidup yang aman bagi manusia”. Lupa bahwa bahaya terbesar bagi alam dan  manusia adalah manusia itu sendiri.
Demikianlah aku Atma, jiwa yang selalu bertanya. Dan selalu di saat-saat seperti itu Sang Hidup punya cara lain bersapa dengan jiwaku.

Pagi ini di bawah gerimis yang membasuh bumi, aku enggan berdoa Rosario lagi, seperti yang selalu dinasihatkan ibuku. Tapi tiba-tiba ibuku berdiri di depan pintu, tersenyum, lalu mengulurkan teh hangat padaku. Ibuku berkata, “Sudah bangun, Ngger ?” Pada senyumnya, pada asihnya aku tak kuasa. Dan itulah mengapa aku berdoa Rosario tiap pagi, meski aku tak begitu menyukainya. Dan tentu satu yang kuminta, kelanggengan kasih itu, yang menyapaku dengan sapaan hangat yang sama tiap kali pagi tiba : “Sudah bangun, Ngger ?”

Begitulah Sang Hidup selalu punya cara merawat jiwaku, ketika ia gelisah akan hal-hal besar, ketika ia menatap sejarah dan merasa terkerdilkan. Ibu. Segelas teh hangat dan senyum itu, lebih dari cukup untuk memperbaharui peradaban.