19.8.12

Risalah Indonesia dan Tuhan


Kadang manusia terlalu memaksakan dirinya untuk bertuhan, sementara sejatinya ia belum mampu memahami fenomena Tuhan, Salut dan rasa hormat saya pada para atheis pencari Tuhan, yang tidak cepat latah dan buru-buru memutuskan.
Catatan ini ditulis di bawah gema takbir ketika langit tempat gagasan Tuhan biasa digantungkan oleh beragam peradaban ditembaki mercon-mercon kecil kesadaran kita. Langit tidak akan runtuh, kita mungkin akan semakin mengerti, tetapi sebagai sebuah misteri, totalitasnya tetap akan menyisakan ruang hitam kosong tak terjawab.
Paham Tuhan, sebagaimana bernegara, hidup rukun bertetangga, ketrampilan kanak-kanak mengikat tali sepatu, adalah fase kesadaran kita, sebagai fase kesadaran ia adalah pencapaian sejauh mana kita belajar. Sejauh mana kita mampu membangun pengertian, sejauh mana kita mengerti pengertian kita, sejauh mana kita mengerti bahwa kita mampu untuk mengerti.
Tuhan tidak sesederhana tali sepatu, tetapi ia menghendaki sebuah perjalanan panjang sebelum sampai pada dirinya dan diriNya : sebagai sebuah konsep (bahkan pengalaman) makna, dan sebagai Persona transendental (Mohon maaf tulisan ini ditulis dalam perspektif Abrahamik dari Tuhan, maka mau tidak mau Ia adalah persona). Bagi saya dua hal ini jelas mengisyaratkan prasyarat kultural dan prasyarat mistik. Prasyarat kultural : ketersediaan referensi makna, pengalaman, rule of reflection, aturan pemaknaan pribadi dan kolektif, sistem nilai dan animasinya yang mengatur bukan hanya tata historis dari fenomena keilahian, tetapi juga metodologisnya. Prasyarat yang harus cukup dipelajari-dihayati-diragai manusia sebagai subyek empiris dari gagasan akan Tuhan. Di ranah publik, prasyarat historis mengandaikan sebuah masyarakat dengan cadangan kisah dan segenap perangkat kesadaran dan tindakan. Perangkat kesadaran membentuk tubuh pengetahuan dari Tuhan, perangkat tindakan memberi tubuh empiris bagi fenomena Tuhan. Dialektika keduanya dalam rahim masyarakat membentuk wajah profetik/kenabian dari fenomena Tuhan.
Prasyarat mistik : kesadaran dan kepekaan diri manusia akan kehadiran (“presence”) dari sebuah cinta agung bernama Tuhan. Prasyarat mistik mengandaikan eksistensi subyek, subyek yang memiliki subyektivitasnya sendiri sebagai syarat ia bisa membenci dan mencintai, bersyukur dan dirundung kedosaan. Syarat utamanya jelas dan sederhana : subyek yang memiliki wajah dan kesadarannya sendiri, untuk bertatap muka penuh asih dengan Tuhan.