10.9.06

Perpustakaan, Komunitas, dan Pencerahan
Saya tidak pernah yakin, dan tidak pernah terlalu percaya, bahwa tulisan saya di baca orang. Saya berasal dari sebuah negeri yang resminya sudah bebas buta huruf, namun yang bisa dipastikan masyarakatnya sebagian besar belum membaca secara benar – yakni membaca untuk memberi makna dan meningkatkan nilai kehidupannya. Masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca untuk mengetahui harga-harga, membaca untuk melihat lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen discount obral di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-stitle opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan…
Seno Gumira Ajidarma[1]

Ada dua penjelasan nonkonvensional yang menarik dari kegemaran manusia modern akan informasi. Pertama, dalam ungkapan kajian budaya populer, bangkitnya voyeurism, kenikmatan mengintip yang termanisfestasikan dalam misalnya, infotainment di media elektronik kita. Kedua, dalam bangkitnya etos konservasi. Yang kedua ini membutuhkan penjelasan yang lebih rinci.
Karena satu-satunya hukum kemajuan yang kini bekerja adalah hukum creative destruction[2] maka syarat pertama dari progresivitas keadaban manusia adalah harus adanya korban. Korban dibayangkan akan memberi ruang fisik dan kultural, bagi generasi-generasi baru dari citra kemajuan.
Dihadapkan pada dua kehilangan besar yang terus-menerus terjadi baik secara ekologis (yakni menurunnya kualitas dan kuantitas lingkungan yang secara biologis bisa dihidupi) maupun kultur (yang diterjemahkan sebagai biaya sosial dan kebudayaan dari modernisasi), manusia semakin terancam oleh berbagai resiko-resiko baru yang harus dipanggulnya[3]. Dalam konteks macam inilah, budaya konservasi menjadi sebuah upaya penundaan, penjagaan, sementara model tata kebudayaan baru belum lagi ditemukan dan disepakati. Maka, memperluas pustaka wawasan dalam hal ini berarti memberi kesempatan manusia untuk mengamankan –untuk sementara waktu- masa depannya, di samping memuaskan kehendak nostalgis yang bangkit oleh keterputusan dan ketercerabutan dengan sesuatu yang terpaksa terdestruksi, terhancurkan, demi cita-cita kemajuan keadaban.
Apa artinya ini bagi hubungan manusia, kita, dengan pustaka pengetahuan ? Entah itu voyeurism ataupun etos konservasionis sama-sama merupakan produk kultural dari situasi jamannya. Pertama, hubungan itu sungguh-sungguh produk dari konstruksi budaya yang spesifik dan unik. Kedua, lebih mendalam lagi, pembacaan atas bangunan budaya dari bentuk-bentuk hubungan manusia-pustaka ini mengantar kita pada pemahaman yang lebih tajam atas arsitektur sebuah masyarakat, sebuah analisa kritis atas orde sosial kebudayaan kita.
Bagaimana mungkin bisa sampai sejauh ini ? Baiklah kita mengintip sejarah hubungan manusia-pustaka. Kalau dua model relasi di atas terbentuk di ranah ideologis dari kebudayaan, kita akan memusatkan diri pada hubungan kekuasaan di dalamnya.