4.3.11

Proyek Etis dalam Tantangan Globalitas Baru

Cyprianus Lilik K. P.*

Tantangan globalitas adalah struktur-struktur patologi sosial yang muncul di dataran global sebagai akibat ekspansi praksis sosial dari revolusi kapital dan teknologi. Informasi, mobilitas, dan struktur interkoneksi global baik dalam arti fisik, institusional, maupun kultural menjadi elemen kunci yang mengkerangkakan tindakan dan makna sosial baru dalam tata sosial pasca negara-bangsa ini.

Ekspansi ini meninggalkan lingkungan domestik komunal negara-bangsa sebagai tanah purba dalam berpolitik, partisipasi sosial, dan pemaknaan. Patologi sosial muncul sebagai persoalan berlapis ketidakberfungsian struktur kontrol sosial konvensional menghadapi kekuatan dan perilaku modal; ketidakterjangkauan praksis sosial baru di dataran global dan di lingkungan termediasi teknologi oleh refleksi etis (baik-buruk, benar-salah), naratif (identitas dan komunitas), dan komunikatif (kebermaknaan dan intersubyektivitas) tradisional; serta dalam gerak totalisasi sosial dari rejim rasionalisasi masyarakat yang terus menelan realitas dalam instumentalisme.

Ini melahirkan kebingungan dalam pengendalian dan governance sosial baru. Bagaimana menjaga manusia sebagai pusat dalam masyarakat instrumental ? Bagaimana menjaga agar gerak hidup kita di ranah praksis sosial baru dalam globalitas ini tetap etis dan emansipatoris ?

Terlebih karena di depan kita terentang persoalan besar, gagal bekerjanya demokrasi institusional liberal di ranah global dengan lumpuhnya lembaga demokrasi setingkat negara-bangsa dan tak terciptanya institusi internasional ataupun mekanisme global lain untuk mengatasi (1) operasi-operasi kekuasaan modal, (2) kekuasaan unilateral imperium politik Amerika Serikat, serta (3) ketidakmampuan negara-bangsa menampung inflasi praksis sosial makrososial maupun transnasional.


Rakyat di Pasar Keistimewaan Yogyakarta

Cyprianus Lilik K. P. *

Rakyat, dan karena itu juga kebudayaan, adalah kategori yang hilang dalam diskusi keistimewaan. Dan sekalipun elemen budaya seringkali muncul dalam perdebatan, sejauh ini hanya ada dalam bayang-bayang romantisme feodal dan romantisme kultural tahun ‘60-‘70an, bukan kebudayaan dalam arti praksis kerakyatan dengan segala pergulatan hidup dan dinamika kekuatan sosial riil yang mengendalikannya. Maka mari mencermati isu ini lebih jauh, dalam titik tinjau sebuah pencarian daya kritis antropologis yang memerdekaan dari sebuah praksis kebudayaan.

Mencari Rakyat

Keistimewaan itu ditemukan dalam tiga hal : pertama, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman adalah negara berdaulat penuh yang dengan sukarela menyerahkan kedaulatan ke tangan Republik dan memilih sendiri status keistimewaannya. Kedua, peran historis Yogyakarta dalam revolusi kemerdekaan dan ketiga, peran kultural DIY dalam membentuk gagasan keindonesiaan hingga saat ini, yakni sebagai melting pot kebudayaan yang sangat penting melalui institusi pendidikannya.

Sekalipun maklumat penggabungan Yogyakarta berwatak elitis, keputusan ini jelas keputusan dua aktivis kemerdekaan daripada titah dua raja. Yogyakarta adalah bagian dari komunitas perlawanan bernama Indonesia.

Dalam gerak historis selanjutnya pun jelas, kontribusi kebangsaan hanya dapat diberikan dalam basis kultural yang kokoh. Dan basis kultural yang sesungguhnya ada di dataran rakyat. Rakyat yang membentuk praksis Republik selama berada di bumi Mataram, rakyat yang menjadi induk semang anak-anak Republik di tahun-tahun kota pendidikan yang menyusul kemudian. Rakyat yang tanpa nama dalam rekaman sejarah Yogyakarta, yang dalam perdebatan keistimewaan kita tetap terbungkamkan.