4.3.11

Proyek Etis dalam Tantangan Globalitas Baru

Cyprianus Lilik K. P.*

Tantangan globalitas adalah struktur-struktur patologi sosial yang muncul di dataran global sebagai akibat ekspansi praksis sosial dari revolusi kapital dan teknologi. Informasi, mobilitas, dan struktur interkoneksi global baik dalam arti fisik, institusional, maupun kultural menjadi elemen kunci yang mengkerangkakan tindakan dan makna sosial baru dalam tata sosial pasca negara-bangsa ini.

Ekspansi ini meninggalkan lingkungan domestik komunal negara-bangsa sebagai tanah purba dalam berpolitik, partisipasi sosial, dan pemaknaan. Patologi sosial muncul sebagai persoalan berlapis ketidakberfungsian struktur kontrol sosial konvensional menghadapi kekuatan dan perilaku modal; ketidakterjangkauan praksis sosial baru di dataran global dan di lingkungan termediasi teknologi oleh refleksi etis (baik-buruk, benar-salah), naratif (identitas dan komunitas), dan komunikatif (kebermaknaan dan intersubyektivitas) tradisional; serta dalam gerak totalisasi sosial dari rejim rasionalisasi masyarakat yang terus menelan realitas dalam instumentalisme.

Ini melahirkan kebingungan dalam pengendalian dan governance sosial baru. Bagaimana menjaga manusia sebagai pusat dalam masyarakat instrumental ? Bagaimana menjaga agar gerak hidup kita di ranah praksis sosial baru dalam globalitas ini tetap etis dan emansipatoris ?

Terlebih karena di depan kita terentang persoalan besar, gagal bekerjanya demokrasi institusional liberal di ranah global dengan lumpuhnya lembaga demokrasi setingkat negara-bangsa dan tak terciptanya institusi internasional ataupun mekanisme global lain untuk mengatasi (1) operasi-operasi kekuasaan modal, (2) kekuasaan unilateral imperium politik Amerika Serikat, serta (3) ketidakmampuan negara-bangsa menampung inflasi praksis sosial makrososial maupun transnasional.


Critical Positioning

Demokrasi liberal telah menjadi satu-satunya instrumen kontrol sosial paling efektif yang kita kenal. Selama berabad-abad, produksi etika politik global dibentuk oleh dua fenomena : perang damai, dan tegangan perdagangan internasional. Proses-proses ini melahirkan norma dan institusi internasional baik di wilayah politik tingkat tinggi (high politics) maupun politik tingkat rendah (low politics). Tradisi institusionalis liberal kemudian merespon ini dalam rajutan nilai dan mekanisme penyerahan sebagian kedaulatan nasional ke struktur supranasional. Tetapi dengan tarik ulur kepentingan yang semakin jelas di tataran global, semakin kecil pula kemungkinan membangun proyek institusional yang di tataran internasional, sebagaimana pernah dilakukan politik teritorial di tataran nasional, atau kalangan politik liberal sesaat setelah Perang Dunia II dengan proyek PBB-nya.

Yang bisa diharapkan kemudian adalah membangun positioning dan repositioning kritis tanpa henti dalam tatanan politik internasional. Pun ini tak bisa dilakukan dalam arti konvensional berupa kerja-kerja solidaritas negara-bangsa ala KAA 1955 atau embargo minyak Arab 1970an. Bukan pula semata-mata kaukus negara-negara berkembang dalam PBB. Pendekatan lama yang dibangun dalam asumsi politik teritorial ini harus ditopang dan diperkaya pendekatan yang merespon formasi sosial global yang baru. Dengan demikian, repositioning berarti memahami struktur publik, karakter, logika globalitas baru dan menjadikan ini ujung tombak mengelola kepentingan dan tujuan etis-emansipatoris, nasional maupun kemanusiaan universal.

Disadari atau tidak, tiga kekuatan besar yang beradu di ranah global adalah pertarungan ekspansi kuasa modal antara kapitalisme Barat dan China, dengan kekuatan ketiga yang perlahan mengakumulasikan diri, kebangkitan geraka pro demokrasi internasional: Gerakan yang kini bertumpu pada meningkatnya cadangan moral dunia akibat proses ganda umpan balik patologi sosial-ekologis dari perilaku rakus kapitalisme global, serta makin intensifnya jejaring ekletis global memperjuangkan keadilan, perdamaian, antipemiskinan, dan kelestarian kehidupan. Di pinggiran arena terseraklah sisa gempita perang ideologis negara berkembang-negara maju di tahun 1950-1960an, fundamentalisme religius reaksioner pasca Perang Dingin, serta sisa masyarakat nasional pemuja negara-bangsa dan demokrasi liberal.

Sebagaimana kisah sukses kampanye global penghapusan hutang Jubilee 2000 yang berhasil merangkul kalangan religius dengan terminologi agamanya, kunci penting dari kerja emansipasi sosial ke depan adalah menemukan pintu masuk kultural ke dalam kosmologi politis dari aktor-aktor global. Ia akan mengurai logika-logika macam apa yang bekerja di balik pilihan tindakan dan positioning diri aktor global, mengantar kita pada peluang konsolidasi cadangan moral dan kultural global.

Di atas akumulasi modal antropologis dan positioning cerdas aktor-aktor inilah peluang bagi mimpi keadilan universal semestinya diletakkan. Arsitektur global semestinya diletakkan sebagai sebuah proses pengingatan : dalam diri tiap kebudayaan dan tiap pilihan, tersembunyilah potongan-potongan keutamaan dan harapan.

*Cyprianus Lilik K. P., peminat studi globalisasi

No comments: