4.3.11


Rakyat di Pasar Keistimewaan Yogyakarta

Cyprianus Lilik K. P. *

Rakyat, dan karena itu juga kebudayaan, adalah kategori yang hilang dalam diskusi keistimewaan. Dan sekalipun elemen budaya seringkali muncul dalam perdebatan, sejauh ini hanya ada dalam bayang-bayang romantisme feodal dan romantisme kultural tahun ‘60-‘70an, bukan kebudayaan dalam arti praksis kerakyatan dengan segala pergulatan hidup dan dinamika kekuatan sosial riil yang mengendalikannya. Maka mari mencermati isu ini lebih jauh, dalam titik tinjau sebuah pencarian daya kritis antropologis yang memerdekaan dari sebuah praksis kebudayaan.

Mencari Rakyat

Keistimewaan itu ditemukan dalam tiga hal : pertama, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman adalah negara berdaulat penuh yang dengan sukarela menyerahkan kedaulatan ke tangan Republik dan memilih sendiri status keistimewaannya. Kedua, peran historis Yogyakarta dalam revolusi kemerdekaan dan ketiga, peran kultural DIY dalam membentuk gagasan keindonesiaan hingga saat ini, yakni sebagai melting pot kebudayaan yang sangat penting melalui institusi pendidikannya.

Sekalipun maklumat penggabungan Yogyakarta berwatak elitis, keputusan ini jelas keputusan dua aktivis kemerdekaan daripada titah dua raja. Yogyakarta adalah bagian dari komunitas perlawanan bernama Indonesia.

Dalam gerak historis selanjutnya pun jelas, kontribusi kebangsaan hanya dapat diberikan dalam basis kultural yang kokoh. Dan basis kultural yang sesungguhnya ada di dataran rakyat. Rakyat yang membentuk praksis Republik selama berada di bumi Mataram, rakyat yang menjadi induk semang anak-anak Republik di tahun-tahun kota pendidikan yang menyusul kemudian. Rakyat yang tanpa nama dalam rekaman sejarah Yogyakarta, yang dalam perdebatan keistimewaan kita tetap terbungkamkan.

Dialektika Keyogyaan

Rakyat tak pernah punya tempat jelas dalam ranah formal politik Yogyakarta. Klasifikasi atas kekuatan-kekuatan sosial yang bekerja hanya mengakui tiga empat aktor : Kraton, masyarakat akademis, pelaku kebudayaan dan seni, serta pengusaha yang menyusul belakangan. Selanjutnya struktur aktor dalam dialektika kekuasaan ini pun mengalami pergeseran. Kalangan modal semakin kuat tampil mengambil peran. Struktur kekuasaan tipikal Yogya mengalami degenerasi, peta kekuatan sosial yang ada pun makin serupa dengan daerah-daerah lain : pemerintah pusat, modal, birokrat, dan tokoh-tokoh masyarakat lokal sebagai pembentuk variasi.

Tiga aktor pertama di atas menjadi kunci penting dalam membentuk rajutan populis identitas Yogyakarta. Rajutan yang kemudian terbukti menjadi mesin-mesin artikulator semu dari rakyat itu sendiri, karena menjebak publik pada sirkulasi semesta simbolik yang amat tinggi di kota ini. Sirkulasi simbolik yang seolah bisa mendamaikan dualisme sosialitas masyarakat Yogyakarta. Masyarakat pendatang dan modern di satu sisi, dan masyarakat lokal-agraris-feodal di sisi lain.

Sementara itu, diskurs ekonomi, diskurs tanah, diskurs sumber daya alam berada di ranah lain di luar kendali rejim simbolik populis tadi, dan perlahan tapi pasti dikuasai oleh negosiasi kepentingan antara modal besar, Kraton dan pemerintah daerah.

Mismanjemen pendidikan dan kebudayaan, lepasnya bangunan politik antropologis yang sejatinya amat dominan di kota ini dari kontrol kritis warganya, menyebabkan sirkulasi ekonomistik dari totalitas sistem sosial lokal Yogyakarta gagal berfungsi. Sirkulasi ekonomistik adalah bagaimana sebuah masyarakat dan struktur sosial didalamnya bisa menciptakan putaran-putaran produktif penciptaan dan pengunaan kapital yang efektif bagi kelangsungan dan perkembangan dirinya. Wajah pendidikan Yogyakarta semakin buram, demikian halnya kebudayaan. Pelemahan sirkulasi ekonomi terjadi, mau tak mau dibutuhkan suntikan-suntikan modal untuk menjalankan mesin sosial lokal. Dan tak ada cara lain selain mennengok ke pusat, mencari kucuran rupiah dari para pemodal besar. Intervensi modal yang terjadi sebagaimana umumnya, berlangsung elitis. Ia masuk terutama ke dua ranah : budaya populer dengan memanfaatkan pasar anak muda yang tersisa dan eksploitasi sumber daya alam. Tak heran, disorientasi kultural dan konflik tanah pun semakin tinggi intensitasnya.

Sirkulasi ekonomi yang menurun dan dampak ikutan dari upaya mengatasinya melahirkan krisis sosial dan kultural baru di tengah masyarakat. Rajutan-rajutan sosial masyarakat asli dan pendatang, antara tradisi dan modernitas yang dahulu terjalin manis dalam paduan intelektualitas dan estetika pun perlahan tapi pasti terus terurai.

Kebudayaan efektif

Kekuatan kultural yang sesungguhnya ada di tangan rakyat. Rakyatlah yang seharusnya bisa memastikan sendiri keyogyaan mereka. Sebuah kebudayaan efektif : totalitas sosial yang bisa menjamin terjadinya interaksi ekonomistik, simbolik, dan juga fungsional yang padu dalam dialektika kritis antara rakyat dan kekuatan-kekuatan sosial yang ada. Dialektika kritis berarti : kemampuan rakyat dalam mengartikulasikan dirinya secara efektif dan tajam vis a vis penguasa-penguasa lokal.

Maka, dalam hal penyusunan ulang arsitektur kekuatan-kekuatan sosial di atas, ketidaksediaan Sultan untuk menjadi gubernur pada periode mendatang haruslah dipandang sebagai pembukaan terhadap kecenderungan elitisme arsitektur kekuatan sosial di Yogyakarta. Selanjutnya, arti penting ini hanya akan tercipta, jika dan hanya jika elemen-elemen demokratis dalam masyarakat memanfaatkannya secara optimal sebagai celah momentum pengartikulasian diri kerakyatan dan problem-problem riil keseharian mereka.

*Cyprianus Lilik K. P., peminat studi globalisasi, koordinator Lingkar Muda Yogyakarta

No comments: