Kadang manusia
terlalu memaksakan dirinya untuk bertuhan, sementara sejatinya ia belum mampu
memahami fenomena Tuhan, Salut dan rasa hormat saya pada para atheis pencari
Tuhan, yang tidak cepat latah dan buru-buru memutuskan.
Catatan ini
ditulis di bawah gema takbir ketika langit tempat gagasan Tuhan biasa
digantungkan oleh beragam peradaban ditembaki mercon-mercon kecil kesadaran
kita. Langit tidak akan runtuh, kita mungkin akan semakin mengerti, tetapi
sebagai sebuah misteri, totalitasnya tetap akan menyisakan ruang hitam kosong tak
terjawab.
Paham Tuhan,
sebagaimana bernegara, hidup rukun bertetangga, ketrampilan kanak-kanak
mengikat tali sepatu, adalah fase kesadaran kita, sebagai fase kesadaran ia
adalah pencapaian sejauh mana kita belajar. Sejauh mana kita mampu membangun
pengertian, sejauh mana kita mengerti pengertian kita, sejauh mana kita
mengerti bahwa kita mampu untuk mengerti.
Tuhan tidak
sesederhana tali sepatu, tetapi ia menghendaki sebuah perjalanan panjang sebelum
sampai pada dirinya dan diriNya : sebagai sebuah konsep (bahkan pengalaman) makna, dan sebagai Persona
transendental (Mohon maaf tulisan ini ditulis dalam perspektif Abrahamik dari
Tuhan, maka mau tidak mau Ia adalah persona). Bagi saya dua hal ini jelas
mengisyaratkan prasyarat kultural dan prasyarat mistik. Prasyarat kultural :
ketersediaan referensi makna, pengalaman, rule
of reflection, aturan pemaknaan pribadi dan kolektif, sistem nilai dan
animasinya yang mengatur bukan hanya tata historis dari fenomena keilahian,
tetapi juga metodologisnya. Prasyarat yang harus cukup
dipelajari-dihayati-diragai manusia sebagai subyek empiris dari gagasan akan
Tuhan. Di ranah publik, prasyarat historis mengandaikan sebuah masyarakat
dengan cadangan kisah dan segenap perangkat kesadaran dan tindakan. Perangkat
kesadaran membentuk tubuh pengetahuan dari Tuhan, perangkat tindakan memberi tubuh
empiris bagi fenomena Tuhan. Dialektika keduanya dalam rahim masyarakat
membentuk wajah profetik/kenabian
dari fenomena Tuhan.
Prasyarat
mistik : kesadaran dan kepekaan diri manusia akan kehadiran (“presence”) dari sebuah cinta agung
bernama Tuhan. Prasyarat mistik mengandaikan eksistensi subyek, subyek yang memiliki subyektivitasnya sendiri
sebagai syarat ia bisa membenci dan mencintai, bersyukur dan dirundung
kedosaan. Syarat utamanya jelas dan sederhana : subyek yang memiliki wajah dan
kesadarannya sendiri, untuk bertatap muka penuh asih dengan Tuhan.
Tiga kali kematian Tuhan
Bahwa hingga
saat ini Tuhan terjebak sebagai sebuah identitas, kita sungguh layak bersedih,
karena dengan demikian “meraih Tuhan” bukan lagi sebuah fase yang
mengisyaratkan pertumbuhan dan pencapaian, melainkan sebuah posisi yang ditundukkan
oleh formalisme referensial dalam tata tutur masyarakat. Untuk meraih
stabilitas simbolik ia harus dijaga oleh agen-agen kekerasan. Ketuhanan sebagai
identitas jelas lebih melayani keakuan subyek dari pada gagasan keilahian Tuhan
itu sendiri. Ia mengosongkan konsep Tuhan dari substansi keilahianNya, menjadi
semata-mata konsep sosiologis yang murah untuk dimanipulasi dan dipolitisasi. Sang
manusia lebih sibuk mengurusi dan mengadili benar salah sebuah ide atau
peristiwa daripada menceburkan diri berenang-renang bermain bersama keilahian, mencari
pemerdekaan dan pemanusiaan sejati di dalamnya.
Dan tak cukup demikian,
jatuhnya paham Tuhan ke dalam formalisme referensial itu berlanjut dengan obyektivikasi
sewenang-wenang atas fenomena dan praksis Tuhan. Angin yang bertiup sejak jaman
purba namun menemukan momentumnya dalam Rasionalisme. Didasarkan pada asumsi
bahwa obyektivitas adalah formasi paling ideal dari kesadaran karena bebas dari
instabilitas dan keberpihakan subyek, Paham Tuhan dikeringkan dari kemanusiaan
dan kebudayaan, lebih parah lagi, dibekumatikan dalam hukum, dogma, dan
notulensi peradaban atasnya dan atasNya.
Maka, wajah
Tuhan yang kerdil terbonsai ini pun menjadi sasaran empuk bagi manipulasi
politis : ketika tubuh Tuhan-empiris tidak lebih dari kerumunan manusia yang
riuh mengitari dan satu sama lain sibuk mengomentari jejak Tuhan, ia tidak
lebih dari massa yang kapan saja siap dimainkan dengan operasi-operasi politik
simbolik sederhana. Tuhan jatuh untuk ketiga kalinya.
Indonesia, subyektivikasi, dan
pembertuhanan
Sampai di
sinilah saya gelisah : bagaimana jika sejatinya kita belum siap untuk bertuhan
dan ber-Tuhan ? Bahkan : bagaimana jika kita belum siap menjadi
Tuhan? Menatap dan membincangkan realitas dengan otoritas melampaui mata
burung, bertutur dengan kekuatan kebenaran yang nirfalsifikasi ? Bagaimana
kalau kita sejatinya belum siap berkata, berpikir, bergerak, dan bernafas dalam
Tuhan ? Bagaimana bila kita terburu-buru merasa mengenal Tuhan, sementara
sejatinya kita belum tegak berdiri sebagai subyek menyejarah di hadapan diri
kita sendiri ? Subyek yang mampu menyadari suka dan derita, harapan, dan peziarahan
hidup kemanusiaannya ? Atau kalaupun kita pernah memiliki subyek itu, ia secara
prematur terbantai di altar kolonial atau pemujaan kita pada ilusi
kemajuan-kemajuan ?
Inilah revolusi yang barangkali bagi Hatta sudah selesai
tetapi belum bagi Soekarno : tata kesadaran, tata batin, tata kebudayaan
manusia nusantara. Generasi yang melompat dari wangsa petani-peladang-perambah
hutan dan merasa berhak menyandang nama sebagai manusia modern bernalar
rasional? Sementara kita semua tahu, modernitas itu mengalir menggenangi nasib
jutaan anak bangsa ini, bukan sebagai pusaran-pusaran kesadaran yang menyerap
sari-sari hidup dari akar peradaban, dan menanam dengan penuh cinta benih-benih
kebudayaan, melainkan lewat rel-rel perusahaan perkebunan, jalan-jalan
kolonial, koran-koran. Mengalir melalui polisi, pegawai kaprajan, dan tentu
saja para bupati. Di masa Republik, ia hadir melalui politisi, pengusaha, teknokrat,
birokrat, tentara, kampus, dan media. Kita
sepenuh-penuhnya sadar, pengalaman dan keterlibatan modernitas kita adalah
pengalaman konsumsi, bukan pengalaman produksi, yakni dengan berani dan kreatif
ambil bagian dalam menciptakan kekinian.
Masyarakat Eropa
memiliki jejak keberagamaan yang mendalam berabad-abad, yang menyebabkan
sekularisme dan kapitalisme tetap berwajah humanistik sekalipun gagasan Tuhan
tak lagi merejim menguasai kehidupan. Sementara negeri ini –yang minim cadangan
nilai dan etos bersama sebagai satu peradaban (dan bahkan jelas-jelas belum
lagi menjadi satu peradaban)- hanya bisa menyisakan belas kasihan, sikap karitatif
untuk menunjukkan bahwa kita tetap berperikemanusiaan.
Jangan-jangan
kita terburu-buru bertuhan dan merasa diri berperikemanusiaan ? Dengan lantang
menyebut diri berperiketuhanan, sementara sejatinya kita masih mengais-ngais
sisa-sisa subyektivitas nusantara yang silang sengkarut dihempas ombak jaman ? Sebuah
iman konsumtif dalam masyarakat karbitan, yang belum
bisa menjadi unit kesadaran/makna produktif tetapi sudah dipaksa menjadi subyek
dalam sejarah. Celakanya, bertuhan adalah satu-satunya cara kita agar kita
mampu menghargai diri kita sendiri sebagai bermoral, dan dengan demikian tinggi
dalam martabat kemanusiaan di hadapan diri sendiri dan di hadapan pergaulan
antarbangsa. Pembertuhanan tak hanya menjadi proyek kesadaran, tetapi politis
bagi para birokrat dan teknokrat penguasa. Sementara di hati kecil kita kita
tahu, jiwa dan raga kita masih terlalu bocah menghadapi nama agung Tuhan,
Moralitas, dan Peradaban.
Bagaimana
dengan kebertuhanan lama negeri ini ? Ya benar memang berabad-abad, ribuan tahun
rakyat negeri ini telah meyakini sebuah sistem religi, tetapi di saat yang sama
negeri ini tidak pernah cukup memiliki kesempatan dan daya untuk merefleksikannya,
mendiskusikannya, membumikannya dalam tata hidup bersama. Dan perlahan ia
lenyap oleh alienasi manusia nusantara dari bentara reflektif bumi kemanusiaannya.
Ada perusakan sistem referensi manusia Indonesia, dari akar kebudayaannya, sebuah
peristiwa pencerabutan di bahwa panji-panji modernisasi. Kita memang pernah
memiliki kebertuhanan kita sendiri, pada suatu masa, pada suatu bentang budaya,
tetapi kebertuhanan itu bukanlah kebertuhanan yang siap menyambut jaman ini
Paham Tuhan,
sebagaimana bernegara, hidup rukun bertetangga, ketrampilan kanak-kanak
mengikat tali sepatu, adalah fase kebudayaan kita. Semakin kita menemukan Tuhan
di wajah setiap orang tanpa pengecualian, setiap kita mampu melihat hidup
melalui mata Tuhan, semakin kita tahu alasan-alasan mengapa diciptakan segenap
kehidupan, semakin kita memahami kemana ziarah kebudayaan dan kemanusiaan kita
harus diarahkan. Ya, menatap Tuhan dalam semua orang, dari mata Tuhan.
Dan akhirnya, Paham Tuhan, sebagaimana bernegara,
hidup rukun bertetangga, ketrampilan kanak-kanak mengikat tali sepatu, adalah
fase keilahian kita. Semakin kita mampu meraih
ketuhanan, semakin kebudayaan, kemanusiaan, dan laku hidup kita sehari hari diangkat
ke kodrat keilahian. Kodrat keilahian yang berarti kita diundang turut serta
bersama Tuhan, mengangkat seluruh kehidupan menuju martabatnya yang sejati, ketika
semua orang dan segenap ciptaan yang diciptakan dan dicintai sama oleh satu Ruh
Cinta yang sama, menemukan dalam diri dan lingkungannya segala cinta yang ia
butuhkan, untuk mencintai dirinya dan sesamanya, sebagaimana mereka apa adanya.
Malam Lebaran, 18 agustus 2012
No comments:
Post a Comment