19.4.10

Pembidaahan dan Ancaman Dialektika Religiusitas

Cyprianus Lilik K. P

Pembidaahan adalah kejahatan. Kejahatan yang serius bagi kemanusiaan yang rindu mencari Keilahian.

Tulisan ini adalah pembelaan kepada hak tafsir dan hak mengolah makna dalam pergulatan spiritual. Karena manusia tidak boleh diadili hanya karena ia mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan kehidupannya, terlebih lagi kalau ini adalah pertanyaan terdalam bagi dirinya untuk memahami kemanusiaan.

Untuk itu kita harus kembali pada dialektika religiusitas dan kebebasan atas hal ini sebagai pijakan utama formasi kesadaran religius, pertama-tama dalam konstruksi subyek religius, dan kemudian konstruksi komunal-kultural dari teks religius. Kita kembali pada penemuan pengalaman religius (religious experience)-nya William James.

Spiritualitas itu matang sebagai dialektika, dan bukan pengakuan iman. Hanya saja kemudian, memang kedua elemen ini harus menemukan keseimbangannya : antara historisitas laku religi sebagai elemen dinamis dan disiplin institusional agama sebagai penopang utama gagasan kebenaran iman. Tetapi jelas dalam hal ini, ancaman terhadap keterbukaan tafsir adalah ancaman terhadap praksis dialektika dari agama-agama, yang bagi saya merupakan satu-satunya cara pembumian makna dan kebenaran dalam subyek religius yang hadir di tengah dunia, yang hidup bukan hanya oleh kesadaran suci “bukan dari dunia” tetapi menemukannya dalam pergaulannya di tengah kehidupan.

Jelas ini sebuah ancaman, apalagi sejak lama diyakini agama-agama, bahwa pengakuan iman semata memastikan jalan keselamatan. Sola fide, menurut Martin Luther dalam bahasa teologis. Extra ecclesia nulla salus, menurut Santo Agustinus, sebagai ungkapan ekslusivitas sosiologis. Sementara sekalipun kita mencoba memainkan demokratisasi keselamatan bagi semua, jauh di dalam lapisan bawah sadar kita rasa kepemilikan atas definisi kita tentang Tuhan masih kita pegang sebagai satu-satunya jaminan keselamatan.

Jelas ini sebuah ancaman, karena bersama ini tersudut pula rejim agama sebagai institusi yang terus merelegitimasi diri dalam sejarah peradaban. Karena sekali kuasa tafsir individual dan komunal itu diakui keabsahan dan dalam taraf tertentu juga kualitas kebenarannya, kuasa pusat mengalami erosi. Dunia tafsir dan bentuk laku religius, dipandang sebagai zero sum game antara warga dan pusat kuasa agama-agama.



Lokus iman dan lokus keselamatan

Kegagalan agama menjadi inklusif bagi dunia dan demokratis bagi umatnya terletak pada kegagalan agama memahami lokus iman dan lokus keselamatan dalam dirinya. Dalam formalisme agama keduanya satu tak terpisahkan, nirsejarah, nirkebudayaan, lantaran finalitas ditemukan dalam disiplin skriptural, dan disiplin tradisi religius. Sebuah gejala yang hanya bisa digugat melalui terminologi keberagamaan, yang menempatkan iman dan keselamatan dalam perspektif kesejarahan dan formatif ziarah kemanusiaan kepada Keilahian.

Dalam perspektif ini, iman dipandang sebagai kesetiaan berjuang mengasah mematangkan kewaskitaan nurani guna menemukan Yang Ilahi. Sementara keselamatan bermakna sebagai sejauh mana perjuangan seseorang dalam penciptaan subyektivitas kritis dan praksis iman sebagai wujud tanggung jawabnya atas kesatuannya dengan Yang Ilahi.
Ini menjadikan agama bukan sebagai rejim kebenaran atau rejim ketuhanan, melainkan ziarah pengalaman dan ziarah kemanusiaan. Di sini agama membebaskan diri dari mitos kebenaran itu statis, perubahan adalah ancaman. Di sini pula, agama menjadi ruang olah kebudayaan (cultural exercise) dan pengayaan peradaban.

Memulihkan agama sebagai peristiwa dan praksis kebudayaan, bukan perkara mudah. Agama dan kebudayaan telah ditradisikan terpisah dalam bangunan arsitektur pengetahuan modern kita. Agama seolah lahir dari yang transenden, dan kebudayaan adalah produk dunia imanen. Pembersihan agama dari sejarah dianggap positif dengan pemurnian agama sebagai pembenarannya. Lenyapnya historisitas agama menjadi bagian penting dari kreasi stabilitas ajaran, yang mau tak mau menuntut korban berakhirnya sejarah kebenaran dan subyek religius sebagai pergulatan dialektika religiusitas.

Matinya dialektika

Purifikasi agama subur akibat konteks sosial yang melatarbelakanginya : pertama, dominasi rasionalitas dalam konstruksi kebenaran modern, kedua, posisi agama sebagai “yang kalah” dalam struktur politik dari modernitas, dan ketiga, terpisahnya agama dari lokalitas dalam masyarakat modern.

Kebenaran modern (yakni ilmu pengetahuan) ditentukan oleh kemampuan pembersihan metodologis, abstraksi, dan generalisasi terhadap realitas. Pertumbuhan institusi pengetahuan ini terduplikasi dalam agama pertama-tama dalam “cara berteologi”. Ketika ini gagal membangun kelenturan agama dalam ber”modernitas”, yang terjadi kemudian adalah pengasingan : pendirian proyek kebenaran sendiri sebagai proyek peniruan. Duplikasi masa lalu menjadi cara paling aman (dan malas) “mencapai” kebenaran.

Kedua, agama adalah “yang kalah” dalam proyek modernitas. Dalam hal ini agama dihadapkan pada tiga kekalahan : pertama, ia bukan lagi proyek sosial massif satu-satunya yang membimbing manusia ke keselamatan utopis; kedua, ia dikategorikan sebagai masa lalu, sebagai bagian dari dunia lama yang hidup dari mitos dan irasionalitas; terakhir, ia secara empiris tidak mampu mengembangkan instrumen sosial yang efektif bagi pencapaian cita-cita kolektif massa.

Aspek ketiga terkait dengan konsekuensi antropologis dari perubahan ruang-waktu akibat revolusi spasial yang diusung sejarah. Agama besar kekinian yang mendominasi substansi kebudayaan sebagian besar penduduk dunia, adalah agama yang “berhasil” melakukan adaptasi spasial. Pertama, mengambil jarak dan mengasingkan diri dari konteks lokal kelahirannya, atau kedua, melakukan perluasan kebudayaan dari lokalitas akar sebuah agama ke daerah persebarannya. Pengabaian pada sejarah dan identitas antropologis diri agama-agama, atau pengabaian pada sejarah dan identitas antropologis para penganut agama di daerah sebaran. Agama itu sendiri yang mengalami diaspora identitas, atau para penganut di daerah sebaran yang mengalami keterasingan kedirian. Satu hal pasti muncul sebagai kesamaan : entah keterasingan agama atau keterasingan penganut, di wilayah paling dasar dari refleksi iman, keduanya memandang agama dan lokalitas antropologis tak memiliki keterkaitan. Agama adalah sebuah gejala yang lepas dan bebas dari kebudayaan.

Penutup

Every language and culture has in it a sort of homing “instinct” for God” demikian tutur uskup agung Canterbury, Rowan Williams. Tetapi bukan hanya dalam tiap bahasa dan kebudayaan keilahian itu menghadirkan diriNya, tetapi dalam setiap peristiwa, dalam setiap kejadian yang membuka peluang bagi dialektika kehidupan antara manusia dan dunia sekitarnya, Yang Ilahi itu datang menyapa. Begitulah sejarah menemukan keutamaan-keutamaannya. Maka jelas mengapa praktek pembidaahan itu sendiri justru sebuah kejahatan kepada Tuhan dan Sang Manusia yang terus berkelana mencari keilahian, sebab pengalaman praksis dan refleksi kemanusiaan sebagai ikhtiar mencerna sejarah dan jaman, itu subversif pada kebenaran.

Yogyakarta, 14 Desember 2007

No comments: