19.4.10

Dalam Nama Tuhan ?
Cyprianus Lilik K. P.*

Sejarah Benggala Sarta Jawa

Dalam kisah pewayangan yang sangat langka dipentaskan, dalang sepuh Ki Timbul Hadiprayitno menuturkan bahwa Sanghyang Wenang adalah dewa pertama yang memiliki tubuh fisik. Dewa-dewa sebelumnya, Sanghyang Nurcahya dan Nurrasa, semua berupa cahaya. Sanghyang Wenang menurunkan Sanghyang Tunggal, Sanghyang Tunggal menjadi ayah dari Antaga, Sarawita, Ismaya, dan Manikmaya. Dari merekalah lahir dewa-dewa utama mitologi Hindu-Jawa : Wisnu, Indra, Bayu, Brahma, dan lain-lain.

Genealogi kosmologi Jawa, rekaman pengkisahan para dewa nusa Jawa adalah catatan ajaib tentang silih bergantinya gagasan tuhan dalam pasang surut kebudayaan. Sejarah Benggala sarta Jawa, bagian awal dari Babad Tanah Jawa tempat silsilah para dewa dituliskan, adalah kisah bagaimana lapis-lapis invasi kebudayaan merubah dan dirubah dalam bentara kosmologi manusia Jawa.



Para dewa Jawa jelas ditulis ulang dari tradisi Hindu India, berakar jauh dalam semesta kosmologi Proto Indo-Eropa ribuan tahun sebelumnya, yang juga melahirkan politeisme bangsa-bangsa Kelt, Jerman, Persia, Slavik, Skandinavia, Yunani, dan Romawi. Kisah-kisah purba yang dalam varian agung kebudayaan Vedic-nya tersebar ke bumi nusantara di abad ke 4-5 masehi.

Dewa-dewa Jawa di jenjang generasi yang lebih tua justru datang belakangan, sebagai keping Semitik yang terserak ke bumi nusantara. Nurcahya (Sayid Anwar) dan Nurrasa jelas berasal dari jagad kosmologi Timur Tengah yang terintroduksi di abad 14, dan mengalami masa asimiliasi puncak di era keemasan kesusastraan Jawa Surakarta abad 19. Tunduknya dewa-dewa Hindu-Jawa ke bawah kosmologi Semitik jelas menunjukkan subordinasi kultural dari sebuah benturan peradaban. Terciptalah genealogi unik yang menautkan Kanjeng Nabi Adam, Kanjeng Nabi Sis sebagai leluhur para dewa dan jin, para dewa cahaya (nur), dewa-dewa bertingkah polah laksana manusia ala Indo-Arya, silsilah wangsa Bharata, terus berlanjut hingga raja-raja Kediri dan Majapahit.

Yang dipuja secara kultural, yang dituakan secara teologis, ialah yang berkuasa secara politik. Tetapi bahwa genealogi dewa-dewa nusa Jawa dengan ajaib menautkan kosmologi Semitik, Vedic, dan Jawa itu sendiri dalam alur naratif yang runtut dan damai, tetaplah sebuah pengkhianatan besar atas logika keberagamaan kita saat ini.

Dekonstruksi antropologis keberagamaan kita

Entah sejak kapan logika modern agama-agama terbentuk dan menemukan kediriannya, seakan tuhan dan keselamatan yang paripurna hanya dapat dicapai melalui mode keberagamaan sebagaimana saat ini kita pahami. Mencoba memahami cara orang-orang Jawa menuliskan tuhan sungguh meledakkan altar iman kita : siapakah, atau lebih tepatnya, apakah tuhan dalam bentang peradaban, apakah artinya tuhan dalam membentuk gugus gagasan keberadaban ?

Jelas kita tidak sedang berdebat tentang kebenaran, apalagi keilahian. Sama sekali tidak. Sejauh makna tertinggi dari religiusitas tidak identik dengan dogma tetapi perjumpaan intim dengan Yang Ilahi, genealogi ini menjadi tak lebih dari strategi kebudayaan. Bukan metodologi, apalagi substansi spiritual. Ia adalah cara menempatkan diri dalam koordinat sejarah, sebuah penyeberangan dan reorientasi antropologis dari tuturan keilahian dalam semesta kebudayaan dan struktur politik yang bergeser. Sebuah perjuangan pencarian lokus spiritual diri di tengah jagad yang berubah. Petualangan yang berujung pada pertanyaan yang sekilas absurd tetapi sejatinya tidak : dimanakah tempat tuhan dalam kerohanian sebuah peradaban ? Spiritualitas itu lestari, tuhan datang silih berganti.

Bagi kita yang hidup dalam logika kerohanian modern dengan sudut pandang rasional akan ketuhanan, yang dilakukan manusia Jawa ini sama sekali di luar nalar. Apakah ini sebentuk primitivitas religius atau inklusivitas ultramodern menjadi sangat kabur batasnya. Yang jelas, siapapun yang marah dan terancam oleh logika keberagamaan semacam ini, sejatinya ia tidak cukup siap untuk menyadari kejumudan keberagamaan dirinya sendiri. Barangkali, kita semua tak cukup siap untuk mempertanyakan dan menisbikan kembali model-model keberagamaan yang selama ini kita hayati. Cara kita mengedari kebenaran dan keutamaan di setiap jaman, itulah cara kita membentuk gagasan keilahian. Membongkar sejarah keberagamaan kontemporer, secara absurd menjadi jalan utama pertobatan iman.

Tuhan yang jauh lebih tua

Finalitas bentuk mengakhiri kepekaan dan keterbukaan kita akan keilahian yang mahakaya, yang sepanjang sejarah menampakkan dirinya dalam aneka nama dan cara. Ada perdebatan panjang tentang konsep ketuhanan nusantara pra agama-agama besar, tetapi barangkali yang terpenting di sini justru bukan gagasan tentang tuhan, melainkan substansi keberagamaan, antropologi religiusitas manusia nusantara yang unik, nakal, lucu, dan liar. Kebertuhanan yang terlanjur “mati” sebelum sempat direkam peradaban.

Tuhan yang jauh lebih tua, adalah tuhan yang lama hilang. Tercipta di jaman prasejarah yang tak mengenal banyak tanda, kekosongan itu sendiri yang menjadi penanda. Sunyi yang mengisyaratkan rindu lestari akan Yang Ilahi. Ia tak memiliki banyak nama, ia tak memiliki banyak dogma. Ia hanya satu dua baris mantra doa-doa. Ia sendirilah bahasa sebelum bahasa, cara orang melukiskan cinta ajaib yang dikenalinya dari bentang landskap, ziarah musim demi musim, dan tapak bintang-bintang di angkasa. Tanpa kata yang mengendalikan makna, Ia lebih dialami daripada dituturkan. Tuhan adalah pengalaman, pengalaman takjub dan cinta. Hingga akhirnya, Tuhan sendirilah cinta abadi yang terus dibagikan.

Tuhan yang jauh lebih tua, pastilah tak sebesar tuhan yang kini kita miliki. Ia tuhan para suku, klan, bahkan keluarga kecil yang terserak. Namun tuhan-tuhan mini ini, di saat yang sama adalah Tuhan yang secara universal menautkan diri dalam relasi darah dengan kemanusiaan, sebagai roh nenek moyang, sebagai benih segenap kehidupan. Sebuah narasi yang lama hilang dalam berdarah-darahnya tuhan modern.

Tuhan kita yang jauh lebih tua, adalah Tuhan masa kanak-kanak kita. Alam pikir yang menempatkan Tuhan apa adanya, tanpa banyak diklaim oleh kuasa agama dan kuasa dunia.

Atas nama Tuhan

Kisah penghakiman terakhir, kisah kesejatian Tuhan, kisah kebenaran di segala jaman, sejatinya adalah kisah kita menziarahi diri dan sejarah pemaknaan.

Dekonstruksi atas genealogi kosmologi Jawa menyingkap satu kualitas unik manusia Jawa (dan juga nusantara), yang dengan luwes dan damai menembus kisah tuhan dari kebudayaan ke kebudayaan, tanpa pernah kehilangan religiusitas mereka yang sejati. Di tengah tuhan yang bertarung dengan tuhan, ada suwung yang mengheningkan kehidupan. Tuhan nusa Jawa adalah Tuhan yang mengosongkan diri dari jaman ke jaman agar selalu bisa mendampingi kemanusiaan.

Atas nama Tuhan, sebelum para pahlawan dengan bangga menyerukan kata-kata ini di medan peradaban, dalam kemanusiaan kita yang tunduk takluk pada penjajahan tanda-tanda, masih tersisakah kapasitas manusia kontemporer untuk menemukan Tuhan yang tanpa nama ?

Yogyakarta, akhir 2008

No comments: