27.8.10

Membaca Siaran Wayang Kulit di Radio-radio Yogya

Cyprianus Lilik K. P.

Kalau kita sedikit cermat dengan soundscape kota Yogya di malam hari, kalau kita terbiasa berkelana di gang-gang atau menjelajahi angkringan, atau kadang suara- justru suara itu diantar berkeliling oleh tukang-tukang becak dan pedagang makanan dari kampung ke kampung, selepas pukul setengah sepuluh malam (selalu setengah sepuluh malam) ada sebuah citra yang menyusup, mengusik ruang kesadaran hingga akhirnya terajut dalam rekaman pengalaman keseharian kita. Sungguh, suara sepuh yang arum Ki Timbul Hadiprayitna ataupun guyon maton dan tuturan yang hidup Ki Hadisugito sudah menjadi bagian dari kultur malam kota ini (bukan berarti tidak ada dhalang lain di Yogyakarta, terlebih akhir-akhir ini begitu banyak dhalang baru bermunculan, namun keduanya memang mendominasi siaran-siaran wayang kulit di radio-radio di Yogya dan sekitarnya)..

Kalau anda penggemar berat seni tradisi ini, dan tak mau melewatkan malam begitu saja dengan kesunyian, tentu tahu asyiknya berburu siaran wayang kulit yang disiarkan oleh radio-radio di sekitar Yogya. Ada perasaan kalah ketika jari-jari lelah pegal memutar-mutar tunning dan tak menemukan satu pun stasiun radio yang menyiarkan siaran wayang semalam suntuk. Ada yang hilang ketika malam tak dilewati bersama kidungan sindhen dan tabuhan para niyaga.



Bagi mereka yang masih setia pada gaya hidup 80-90an hingga hari ini, nuansanya akan lebih komplet lagi, karena Siaran Dunia dalam Berita TVRI seakan menjadi pengantar kita, menyalakan radio, memutar-mutar tunner, dan menyiapkan diri untuk istirahat panjang setelah lelah oleh pergulatan seharian.

Sebuah Subkultur

Sebagai sebuah fenomena kultural, siaran wayang kulit semalam suntuk pun memiliki fakta-fakta sosiologisnya sendiri. Kita bisa menjadwalkan pemancar radio mana yang harus dipilih saban hari, kita bisa memetakan judul-judul kisah (lampahan) yang ditampilkan, kita bisa mengukur popularitas dhalang.

Tentang isi siaran wayang sendiri kita bisa mencermati detail : mulai dari pola keprakan pertama ki dhalang yang khas, lakon-lakon favorit ki dhalang, pola guyonan, kemampuan dhalang membangun dinamik suasana (Ki Timbul sangat pandai dalam hal ini), mencipta kisah yang mengalir ringan dan alami ala Ki Hadisugito hingga ke variasi antardhalang dalam mementaskan judul yang sama. Kita juga bisa mencermati kreasi dhalang dalam mengakali pakem, dalam hal ini Ki Timbul terkenal dengan kisah-kisah carangannya.

Tentu tak semua lakon komplet disajikan, ada judul favorit, ada sambungan kisah yang tak pernah terdengar. Ada pula kisah yang seumur-umur baru satu kali saya dengar : Kresna gugur.

Mendengarkan wayang kulit sesungguhnya jauh lebih mengasyikan daripada menontonnya secara langsung. Sampakan dhalang di balik kelir memiskinkan kita dengan referensi visual yang seringkali terlalu lamban dan membosankan. Syukur kepada teknologi yang membebaskan kita dengan memisahkan dunia suara dan gambar, hingga pikiran kita dengan bebas bisa berkelana melayang-layang di atas genangan teks audio yang penuh dinamika.

Politik kebudayaan

Lantaran di jaman ini segala sesuatu semakin terbaca kekentalan politisnya, demikian pula relasi-relasi yang terbangun di antara telinga dan radio sungguh berkarakter politis pula.

Sebagai sebuah ruang sosial, siaran semalam suntuk tak bebas pula dari sentimen-sentimen kultural. Katakanlah, seorang Yogya asli akan cenderung memilih lakon wayang bergaya Yogyakarta pula, syukur-syukur bisa memperoleh dhalang yang sudah akrab di telinga atau mendapat lakon yang jarang didengarnya. Demikian pula sebaliknya, seorang yang terbiasa dengan gagrag Surakarta cenderung setia dengan gaya Surakarta pula. Di samping itu, para pandhemen (penggemar) setia seni tradisi akan lebih nyaman untuk mendengarkan siaran yang masih memegang kuat pakem pewayangan. Bagi mereka wayang garapan yang memadukan campur sari, dangdut dalam limbukan dan gara-gara yang bisa memakan sebagian besar waktu pertunjukan itu (3-4 jam dari 8 jam pertunjukan !) adalah sebuah pengkhianatan budaya. Sebagai pastiche, pertunjukan gado-gado macam ini sama sekali tanpa makna, kecuali gangguan pada kesadaran dan imajinasi subyek pendengar akibat kekacauan referensi itu sendiri.

Tegangan yang paling terasa tentu saja, sebuah konstruksi developmental berupa konflik antara tradisi dan modernitas. Kita diantar pada persoalan radio tua dan radio muda di kota Yogya.

Dari sekian puluh radio yang bertebaran di seputar Yogya, tidak semua menyiarkan wayang kulit semalam suntuk. Ia adalah sebuah opsi, dan karenanya masing-masing pengelola radio mempunyai pandangan yang berbeda tentang hal ini. Pilihan menyiarkan wayang kulit semalam suntuk menjadi penanda dari posisi kulturalnya. Terlebih lantaran wayang kulit adalah entitas ikonik, pilihan dan penolakan atasnya menjadi isyarat keberpihakan kultural, ujung-ujungnya adalah pasar dan pemeliharaan support kepentingan elit politik dan ekonomi lokal (bahkan nasional : kalau kita mencermati, begitu banyak iklan politik yang masuk dalam Pemili I dan II yang lalu baik dari partai-partai besar, maupun figur individual calon legislatif dan calon presiden, sebuah penyimpangan dari tradisi iklan obat dan jamu-jamuan), dan tentu saja komunitas penggemar yang melingkupi eksistensinya, untuk.yang terakhir ini adalah sebuah fenomena yang unik lantaran secara ekletik dihimpun dari mereka yang terorganisir-terlembaga semacam SSJY (Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta) dan jejaring seni tradisi yang lain, paguyuban penggemar RRI dan paguyuban siaran tradisi yang lain, hingga pedagang sayur pasar, tukang becak, penjaja makanan malam keliling, dan petugas pos ronda.

Maka memahami peta penyiaran wayang kulit menjadi jalan juga untuk memahami konflik budaya di tengah-tengah bisnis radio di kota ini. Ini mau tak mau menarik kita pada kesadaran akan pergulatan budaya yang jauh lebih luas dan abstrak. Nampaknya, pertempuran klasik antara tradisi dan modernitas masih mendominasi kesadaran publik, setidak-tidaknya itulah yang tersembunyi dalam komentar pengantar para penyiar pengantar acara (yang fasih luwes berkrama inggil, hingga penyiar muda dengan bahasa jawa yang grothal-grathil di sana-sini), maupun dalam tuturan dhalang khususnya di bagian gara-gara (apalagi kalau siaran merupakan siaran langsung, yang bagi ki dhalang dianggap memiliki potensi artikulasi sosial politik yang lebih kuat dari sekedar pancar ulang) tentang perlunya “nguri-uri kabudayan Jawi (melestarikan kebudayaan Jawa), bagi anak cucu pemilik masa depan.

Tapi konflik antargenerasi itu hanyalah satu dari banyak persoalan di tengah riuh rendah pasar. Memisahkan keduanya hanyalah omong kosong belaka, yang tak lagi bisa dianut bahkan oleh kaum liberal paling kanan sekalipun.

Radio tua, radio muda

Mengikuti pertarungan klasik ini, tak heran bila radio-radio di Yogya dapat dibagi dalam dua kategori besar : radio-radio tua dan radio-radio muda. Kategori yang tidak lagi plastis karena keterputusan dialog kebudayaan antargenerasi di kota ini telah menjadikan batas-batas pertukaran budaya memadat mengeras. Ini tentu tak bisa dilepas dari kebutuhan kapital untuk mengkonsolidasi keuntungan dengan menegaskan sisi identitas dari kohor orang-orang muda, ataupun generasi sebelum dan sesudahnya. Dalam hal ini ada dua momentum yang tak bisa diabaikan : pertama, migrasi massal radio-radio Yogya ke gelombang FM yang terjadi di tahun 1990-an adalah sebuah migrasi kultural yang penting, yang memisahkan generasi Orde Baru tengah dan Orde Baru akhir –yang terakhir ini ditandai oleh kemunculan televisi swasta yang sama sekali mengubah pencitraan audiovisual kita tentang keindonesiaan.

Momen kedua, peristiwa 1998 membawa banjir radio-radio swasta baru, baik yang berasal dari kampus, bisnis (yang relatif tak lagi memiliki ikatan moral dengan gurita-gurita negara Orde Baru), maupun komunitas. Dan lantaran yang terakhir ini secara epistemik diisi oleh mereka yang mengalami masa mudanya di tahun 1990-an, lumrah bila sangat sedikit dari radio-radio generasi ini masih memberi tempat pada siaran tradisi, apalagi mereka yang merepresentasikan perluasan tangan kapitalis penyiaran di Jakarta (Prambors, Sonora, Trijaya, Eltira), perkecualian dapat diberikan pada beberapa radio : radio metamorfosis dari generasi sebelumnya (Star FM dari Suara Istana), pijakan institusi (Videc FM dari PPPG Kesenian), atau mereka yang memang secara total menjadikan kejawaan sebagai idealisme dan pasar (Suara Kanca Tani, di daerah suburban Godean, satu-satunya radio dengan bahasa Jawa di Yogya).

Tegangan idealisme dan pasar menjadi persoalan klasik yang tak pernah tertuntaskan. Sementara patron kultural masih relatif mudah didapatkan, tidak demikian dengan urusan modal.

Apakah membela tradisi seperti anak bajang menggiring angin, menguras lautan, hanya dengan sada lanang dan tempurung tiga lubang ?

Aksi Afirmatif

Tentu wayang kulit bukan sekedar ‘bumi gonjang-ganjing langit kelap-kelap’, Atau ‘oya-oye’ ala iklan televisi. Masyarakat kita harus segera mengakhiri kejumudan kebudayaan ini. Yang dibutuhkan kini adalah sebuah aksi afirmasi (affirmative action) dari institusi yang memiliki otoritas untuk menggerakkan sumber daya material nasyarakat modern, karena secara aksial, marginalisasi, dan kemudian manipulasi, tradisi memang menjadi strategi kekuasaan untuk terus menggelembungkan dirinya, baik itu Ganasidhi atau PRSSNI di masa Orba sebagai corong penguasa, atau politik citra dari industri media global. Pemerintah dan organisasi radio siaran swasta harus memberi ruang hidup kultural yang lebih luas pada warisan kebudayaan yang makin termarginalisasi ini. Katakanlah dengan kewajiban mengadakan siaran wayang kulit semalam suntuk sekali sebulan bagi semua radio di Yogya, pengenalan wayang dengan memanfaatkan strategi marketing tanpa harus jatuh ke dalam kedangkalan kebudayaan, dan tentu saja pelibatan publik yang intensif sebagaimana telah relatif mapan dibangun oleh RRI Yogyakarta dengan pengorganisasian dan pembentukan jejaring pelakudan penggemar seni tradisi di kota ini.

Sejauh ini kerjasama yang mantap terbina antara Kraton, Pepadi, KR, dan RRI Yogyakarta untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit semalam suntuk secara rutin setiap bulan (dan ini telah berlangsung selama puluhan tahun), Pemda Bantul bekerja sama pula TVRI menggelar even yang sama di Pendhapa Kabupaten Bantul, sementara Radio MBS bersama dengan Pepadi menampilkan dhalang-dhalang muda tiap satu bulan sekali, dan tentu saja beberapa radio yang secara rutin entah seminggu dua kali (GCD, misalnya), satu kali, dua mingguan, hingga sebulan sekali menyajikan siaran wayang kulit semalam suntuk. Persoalannya, sejauh ini upaya-upaya itu, sekalipun beberapa di antaranya telah berlangsung puluhan tahun, masih terkesan sporadis tanpa arah yang jelas. Mungkin bukan grand design yang dibutuhkan, karena upaya semacam ini dalam konteks sosial politik keindonesiaan yang masih sangat paternalistik cenderung jatuh ke dalam otoritarianisme negara, sebagaimana terjadi di masa Orde Baru tadi. Dalam hal ini perhatian yang lebih besar, pembangkitan partisipasi publik, dan penggarapan yang lebih tertata dan profesional, dengan manajemen pertunjukan yang matang pula yang sangat dibutuhkan. Sebuah penumbuhan plaza kultural yang bisa mengapresiasi sekaligus menopang hidup mati kebudayaan kita.

Setidak-tidaknya, sebagai egoisme pribadi, ada yang menemani saya tiap kali saya begadang menikmati malam. Agar anda sedikit iri, sungguh nikmat menjatuhkan diri dalam rayuan bunyi gamelan ditabuh. Di bawah bulan secuil, segelas kopi dan camilan, ketika pathet 9 beranjak ke menyuro saat malam mulai gingsir menuju kepagian.

Yogyakarta, 2004

No comments: