25.8.08

Rekonsiliasi
Cyprianus Lilik K. P. *

Apa arti nasionalisme buatmu ? Apa arti menjadi Indonesia? Tanyakan pertanyaan ini pada sekian banyak orang muda, tanyakan pada diri kita sendiri, dan kita semua dibuat gelisah karenanya. Barangkali hanya anak-anak yang memiliki jawaban relatif lengkap dan positif pada pertanyaan ini, tetapi itu takkan berlangsung lama.

Tentu saja, karena semoga masih segar di kepala mereka pelajaran kebangsaan yang mereka peroleh. Tetapi biarpun mereka bisa menjawabnya, toh jawaban-jawaban itu tak lagi selengkap jawaban anak-anak sekolah di masa Orde Baru dulu. Benar memang jawaban ini lahir dari indoktrinasi, tetapi ketidakmampuan kita memandang positif diri kebangsaan kita sendiri, bahkan merasakan kehadiran diri kebangsaan itu sebagai bagian eksistensial dari individualitas kita, bagaimanapun adalah sebuah kehilangan yang besar.


Dendam Keindonesiaan

Barangkali karena kita semua punya dendam. Kiri, kanan, eks komunis hingga religius radikal, suku-suku di rimba Papua hingga juragan Cina kaya, kita semua tentu saja punya dendam, dendam keindonesiaan. Agaknya kita semua telah menjadi korban, tetapi semestinya perasaan sama korban ini bisa menyatukan. Menggiring kembali pada rindu kesatuan yang memerdekaan. Tetapi faktanya tidak, sebab ketertindasan kita bukanlah satu ketertindasan. Ketertindasan kita adalah ketertindasan rejim cerdas yang berhasil menjadikan yang satu penindas yang lain, yang satu hantu bagi yang lain. Dengan ini tiran membangun mata air abadi bagi legitimasi kekuasaan, mata air air mata yang takkan habis sejauh kisah-kisah kebencian terus dituturkan dari obrolan ke obrolan. Curiga dan sengketa tertanam jauh di dalam benak kita. Lebih kuat dari kebudayaan moyang, dirajut dalam identitas personal, disuntikkan ke mata sebagai distorsi optis sosiologis, meluncur dari bibir dan lidah kita tiap kali kita berkata-kata.

Lalu ketika rejim itu menghilang, kita tiba-tiba kehilangan cara mendefinisikan diri. Kehilangan pengkisah tidur malam ketertindasan, sekalipun kisah itu berlumuran darah, sekalipun kisah itu meninabobokan kita dari penghisapan terus-menerus atas diri sosial, diri fisik, dan diri ekologis kita.



Cara kita berekonsiliasi

Kita tak boleh mencari jalan ke masa lalu, hari-hari kita yang lalu telah terampas kekuasaan dimitos-ilusikan, seharusnyalah kita merintis jalan ke masa depan. Dan kalau toh jalan ke masa depan itu gelap lebat menyeramkan, kita tidak boleh surut, sebab bukankah demikian tugas seorang perintis pembuka hutan ?

Lalu kita mengayunkan parang. Tetapi kemana tangan mengayun tubuh saudara sendiri yang tertebaskan. Agaknya, kita semestinya sadar kelam hutan keragaman, yang menakut-nakuti kita dengan kotak-kotak purba bernama SARA, adalah cara masa lalu menguasai kekinian, tak hanya dengan warisan hutang, tetapi dengan sentimen purba tentang ‘yang lain’ yang siap menikam.

Sementara orang-orang menyeru persatuan, rekonsiliasi ini sedikit terlambat. Narasi yang menyatukan kita sebagai korban, perlahan mulai meredup hilang. Kita telah terserak oleh pilihan. Sebagian sahabat Muslim menyerukan syariat dan khilafah, sebagian Kristen menuntut Kota Injili, sebagian yang lain berteriak kemerdekaan, dan seterusnya, dan seterusnya. Oleh pilihan-pilihan ini kita seakan menghidupi perjuangan kesejatian, menemukan nyala kedirian. Tetapi diam-diam, bukankah ini isyarat kita belum lagi bebas dari ketakutan dan teror masa lalu dari bapa kekejaman yang sekali lagi, selalu penuh senyuman itu ? Tetapi dengarlah dari kedalaman hati, bukanlah kuat tersemat di sana rindu keadilan dan rindu kemanusiaan ?

Lantas bagaimana kita bisa berekonsiliasi, dan menemukan kembali tanah yang hilang ? Barangkali, kalau kita sungguh ingin rujuk kembali, karena terlebih lagi kita tidak tahu mengapa kita harus saling bersengketa, kita harus mampu melampaui kedirian, melampaui masa lalu, melampaui masa depan, masuk menusuk ke dalam kenyataan.

Melampaui kedirian, karena kita sadar, sepenuh-penuhnya sadar bahwa kesadaran diri kita adalah mutlak dibentuk oleh tipu daya indoktrinasi, identitas semu, dan ilusi permusuhan. Melampaui masa lalu, barangkali kalau kita mencari sejarah, seharusnya kita mengikuti ucapan Revrisond Baswir dan yang lain-lain bahwa kita pernah punya sejarah, sejarah yang hilang dalam tahun-tahun tertib developmental negara tiran, sejarah perlawanan dan pemerdekaan tanpa henti dalam erat nyala persaudaraan dangairah perjuangan. Keindonesiaan Tan Malaka, Sukarno, Cokroaminoto, Agus Salim, Wakhid Hasyim, Sam Ratulangi, dan lain-lain.

Melampaui masa depan, melampaui bayang pilihan sesaat yang menyerakkan keindonesiaan kita dalam keragaman perjuangan dan masing-masing lintasan impian, bayang-bayang yang sementara kita raih demi menemukan rasa aman, tetapi terus membelenggu kita dalam kotak-kotak keterasingan. Tetapi sebuah masa depan yang menyakini bahwa mustahil keadilan dan perdamaian ada tanpa persaudaraan dan persatuan, terlebih dalam tantangan universal yang makin tak karuan.

Dan inilah makna sesungguhnya dari kembali pada realitas : bahwa kita berhadapan dengan kompleksitas hidup bersama yang semakin tidak ringan. Bahwa kompleksitas ini tak bisa dihadapi hanya dengan keyakinan, ideologi, atau paham, tidak pula dengan keterpisahan, keterkotakan, dan kecurigaan, tetapi dengan, analisa sosial, praksis kesejarahan, dan solidaritas perjuangan. Bahwa akhirnya, kebencian dan dendam hanyalah sebuah cara lama dari kekuasaan untuk melanggengkan penindasan.

Yogyakarta, 2008

2 comments:

Maha_Dewi said...

Salam Budaya...
Bagi aku nasionalisme itu menjadi orang yang mencintai bangsa dengan berbuat sesuatu yang berguna bagi bangsa, ya..seperti aku saat ini.
Bergelut dengan penyandang autis, orang-orang yang hidup di dunianya sendiri. Mungkin enak kali ya menjadi mereka yang tidak memikirkan nasib bangsa ini, tidak memperdulikan keadaan bangsa ini, tidak mengkhawatirkan masa depan bangsa ini. Mereka hidup di dunianya sendiri, bahkan mungkin ingin menciptakan negara autis, dengan presiden autis, wakil rakyat autis, dan sistem pemerintahan autis.

Suatu hari muridku tiba-tiba menyobek-nyobek poster Presiden Soeharto, poster itu disobek-sobek hingga menjadi serpihan kecil, orangtuanyapun kalang kabut dibuatnya karena khawatir anaknya akan ditangkap pihak berwajib, tapi tidak berapa lama setelah kejadian itu, Soehartopun lengser. Kemudian dia pun mengungkapkan keinginannya untuk pindah menjadi warga negara Malaysia, mungkin dia sudah bosan tinggal di Indonesia dengan ketidak adilan masyarakat dan pemerintahnya terhadap para penyandang autis. Tiba-tiba lagi, ia menurunkan bendera merah putih Indonesia dan kemudian ia membalik bendera itu dan dipasang lagi pada tiang, tapi dengan posisi terbalik, putih merah. Teks pancasila pun ia rubah habis-habisan.

Banyak orang mengatakan bahwa orang autis adalah calon penghuni surga. Mereka seolah tidak peduli dengan lingkungan, hidup di dunianya sendiri, tapi kenyataan ia menunjukkan protes dengan berani. Mungkin ia memang benar-benar ingin mendirikan negara sendiri, NEGARA AUTIS. Tidak akan ada korupsi, tidak akan ada ketidak adilan, tidak akan ada keterkotakan, tidak akan ada kecurigaan, tidak akan ada permusuhan, tidak akan ada kerusuhan, karena pemimpinnya calon penghuni surga.
Ia juga tidak mengerti dengan sejarah bangsa ini. Buktinya, mereka justru bersahabat dengan warga negara Belanda, orang Belanda itu yang membantu mereka untuk berjuang mendapatkan pendidikan yang layak khusus untuk penyandang autis. Orang Belanda itu juga yang mengajarkan pada guru-guru di Indonesia cara memahami dan mendidik penyandang autis. Bangsa Jepang juga pernah memberikan bantuan pada mereka. Banyak orang dari berbagai negara telah mengunjungi kami di sekolah.
Dihati mereka tidak akan pernah ada dendam, karena mereka suci.
Seharusnya para pemimpin negara ini malu dengan calon penghuni surga ini.
Ok, kita lihat saja, mungkin tidak akan lama lagi negara autis akan benar-benar terwujud.

Anonymous said...

Kronologi penyerangan FPPI terhadap Anggota Rapat KRB di Sekretariat Bersama PPRM, 25 Mei 2008


Peserta rapat:

1. Eman (PPRM)
2. Linda (KAM UAJY/ LMND PRM)
3. Niken (JNPM)
4. Mahendra (PRP)
5. Akbar (Resista)
6. Andi Bund (LMND PRM)
7. Bonar (KAM UAJY)
8. Coky (IP UMY)
9. Jam’ul Hasani (IP UMY)
10. Hasudungan (KAM UAJY/ LMND PRM)
11. Dian Novita (LMND PRM)
12. Moza (LMND PRM)
13. Adit (FPPI)
14. Fery (FPPI)
15. Desto (FPPI)
16. Patar (FPPI)

Agenda rapat: memfasilitasi komplain FPPI atas kronologi yang dikirim ke FPN

Mulai pukul 20.23 WIB

* Adit menyatakan keberatan atas kronologi yang menyatakan bahwa FPPI secara organisasional telah melaklukan kesalahan dalam aksi.
* Kawan coky yang menjadi korban menyatakan bahwa kronologi yang ditulis itu sudah benar, bahwa dia dicekik lehernya dan diserahkan ke intel oleh patar, dan sempat ditendang dua kali oleh aparat kepolisian selama perjalanan ke kantor poltabes. Saat evaluasi tanggal 23 Mei 2008 disekretariat resista, Andi (PBHI) memberikan keterangan dari poltabes bahwa yang menyerahkan coky ke poltabes adalah massa aksinya sendiri (patar).
* Patar membantah telah menyerahkan coky ke polisi.
* Feri menyatakan keberatan kalau FPPI membuat pernyataan maaf atas kesalahan yang mereka lakukan dilapangan ketika aksi tanggal 21 mei 2008.
* Kawan dian menyatakan bahwa FPPI harus tetap membuat pernyataan minta maaf dan disebar ke seluruh kampus, media massa dan organisasi2 yang ada di jogjakarta.
* Patar membantah dan berdiri mengambil posisi akan melakukan penyerangan ke kawan dian.
* Kawan Bonar menghalangi patar dan akhirnya terjadi keributan. Ketikan itu juga massa dari FPPI (sekitar 20an orang) merangseg masuk ke dalam secretariat PPRM dan menyerang, memukul anggota rapat dan merusak beberapa barang secretariat (pembatas pintu, gelas, asbak rokok, meja). Bahkan ada saksi yang mengatakan bahwa ada anggota FPPI yang membawa Badik. Kejadian ini berlangsung pukul 21.32 WIB. Adapun kawan-kawan yang menjadi korban pemukulan dan tendangan adalah; akbar, bonar, niken (juga dipegang payudaranya), andi bund, sudung, mahendra.
* Setengah jam kemudian kawan-kawan dari SMI datang (setelah mengadakan pelatihan di Parangtritis), juga kawan-kawan dari Sekolah Bersama (SEKBER) untuk berkoordinasi.

Demikian kronologi ini dibuat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, 25 Mei 2008

Eman Sulaeman
(Humas KRB)