25.8.08

Menggagas Indonesia Postdevelopmental

Lilik Krismantoro*

Kegamangan Postkolonial
Selewat periode gegap gempita negara-negara baru pascapenjajahan di tahun 1950an dan 1960an, selewat periode konsolidasi birokratik kekuasaan lewat negara developmental, segera sesudah arus deras neoliberalisme menyerbu setelah runtuhnya Perang Dingin sebagai tembok-tembok ideologis pembentuk aristektur politik global, sebuah kegamangan eksistensial melanda bangsa-bangsa di daerah-daerah kurang berkembang di muka bumi.

Kegamangan ini bukan hanya di permukaan, sejatinya, yang sedang terjadi adalah kegamangan postkolonial, sebuah fase reflektif yang buram akibat kegagalan struktur negara-bangsa Barat di bumi Dunia Ketiga. Kalau berpalingnya negara-negara Dunia Ketiga dari api solidaritas negara berkembang yang dinyalakan Sukarno, Nehru, Nasser, Tito, dan kawan-kawan menjadi developmentalisme sedikit banyak dipengaruhi dari problem pragmatik kegagalan institusionalisasi ekonomi yang pro kemiskinan (yang harus dilihat pula secara kritis sebagai akibat intervensi sistematis Barat melalui berbagai cara), kegamangan postkolonial atas lembaga-lembaga negara-bangsa produk evolusi politik Barat dipengaruhi atas disadarinya kelumpuhan institusi-institusi modern ini dalam merespon ekspansi massif kapital di samping muncul pula kesadaran mendalam akan agenda tersembunyi neokolonisasi dalam developmental negara yang diusung Barat.


Kekosongan Epistemik
Sialnya, kegamangan postkolonial ini tidak menemukan peluang saat masyarakat Dunia Ketiga mencoba menengok pundi cadangan epistemik kebudayaan yang nyaris terkosongkan oleh positivisme modernitas. Tidak ada lagi kebudayaan sebagai genius dialektika, yang tersisa hanyalah serpih-serpih antropologis setengah remuk dihantam nafsu rasionalitas, tetapi gagal terlenyapkan. Ketika mereka mencoba menggunakan serpih-serpih ini sebagai prisma menerobos sejarah dan makna, yang terbaca adalah luka dan kecewa, kehilangan dan amarah mereka yang tersisih di garis tepi peradaban.

Yang muncul lantas sebuah fundamentalisme kebudayaan. Dan fundamentalisme kebudayaan adalah kekeliruan memandang apa yang sampai kepada kita, yakni etnik, sebagai sebuah epik. Kepada setiap mata yang memandang masa lalu dengan menitikkan air mata, kita perlu dengan cermat dan waskita curiga : pertama, pada diri kesejarahan dan realitas apapun yang ditemukan sesudah tangisan kebudayaan. Kedua, pada mata yang selalu menangis dan penyakit-penyakit yang diam-diam tersembunyi di baliknya. Dengan kewaskitaan kita diharapkan mampu membangun pembedaan antara alien dan spesies yang akan terlahirkan.

Melawan refeodalisasi masyarakat
Sialnya, itulah yang terjadi di antara kita, hibriditas campur aduk antara masa lalu dan masa depan, luka dan harapan. Alih-alih kesadaran “to born the world a new” ala Sukarno dan pemimpin perintis Republik yang menolak sama sekali mendasarkan konstruksi keindonesiaan pada kebudayaan lama yang lapuk (katakanlah pembongkaran kultur priyayi dan kaprajan, ditolaknya bahasa Jawa dengan hirarkhi linguistiknya, dan seterusnya), dan menjadikan proses penemuan keindonesiaan baru sebagai bagian utuh dari aksi pemerdekaan itu sendiri, kegamangan postkolonial-postdevelopmental dewasa ini justru memunculkan kembali elemen-elemen feodal masyarakat atau moda kekuasaan politik praktitik demokrasi sebagai sebentuk alternatif final kebudayaan, berlabel purifikasi religi dan tradisi. Bagi semua orang yang melek budaya sadar dialektika, kita semua kini diharapkan makin waskita dan kritis terhadap putaran balik ini : alih-alih lahirnya tata sosial baru yang egaliter, universal, dan ekologis, kita dihadapkan pada penanaman kembali bentuk-bentuk dominasi tanpa perimbangan kekuasaan, hirarkhi nirkritik sosial, dan eksklusi irrasional melalui refeodalisasi masyarakat.

Dalam kegamangan ini, sesudah legitimasinya berhasil dihancurkan dalam wacana (postmodernisme dan postkolonialisme) dan praksis (dalam kekecewaan atas modernitas dan sentimen simbolik-religius), terjadi penulisan ulang secara massif terhadap kebudayaan modern dan institusi-institusi sosial di dalamnya. Bagi kita semua tantangannya adalah sejauh mana kita bisa bersikap cerdas memahami struktur persoalan dan menemukan peluang-peluang solusi dalam cadangan sosial yang kita miliki. Pilihan untuk tidak “throw out the water with the baby” sejatinya adalah sebuah kematangan kultural. Sebagaimana dilakukan para pendiri negeri ini dengan darah tradisi sebagai bumi pijakannya, ataupun humanisme yang nyata-nyata mengalir dalam gelegak darah perjuangannya. Tanpa penerimaan atas sejarah dan tradisi, tanpa penghormatan atas humanisme dan intelektualitas Barat sebagai keutamaan baru, Indonesia yang lahir adalah Indonesia yang reaksioner, yang barangkali memilih strategi Stalin, Hitler, Mao, atau Pol Pot, dan tentu saja, pembantaian ’65 Suharto.

Penulisan Kembali Institusi Sosial
Refeodalisasi masyarakat adalah keniscayaan dalam situasi material keindonesiaan kekinian : lelah oleh proyek sosial konvensional yang dilakoni, gamang dalam kekosongan epistemik, hampa dalam roh kedirian. Refeodalisasi masyarakat yang mengiringi diorientasi massa adalah proses eksistensial akibat dialektika situasi historis kontemporer.

Maka dalam terang kearifan berpijak di dua kaki sebagaimana dihidupi generasi perdana Indonesia, ada dua strategi utama yang selayaknya dipergunakan untuk mengelola proses-proses ini : pertama memandu penulisan ulang institusi sosial dengan mencermati strategi dan konstelasi kekuasaan baru yang berpeluang muncul sebagai akibat kecenderungan refeoldalisasi masyarakat dewasa ini. Ini berarti mengawal kebangkitan masa lalu dengan, kontrol refleksi moral kontemporer, intelektualitas, dan kritik sosial. Kedua, membangun bangunan epistemik dan historis, alternatif untuk menunjukkan betapa kita sesungguhnya tak terlalu harus berputus asa sejauh kita dengan sabar dan setia menekuni sejarah. Bahwa berpaling ke masa lalu tidak identik dengan penjiplakan identik kepurbaan yang pasti belum tuntas dalam kritik kekuasaan. Bahwa masa lalu bukanlah satu-satunya jalan. Masih ada jalan ketiga selain hanyut dalam fatalisme arus besar modernitas atau refeodalisasi masyarakat : berpikir dan bertindak produktif memainkan modalitas kebudayaan dan kekuasaan dalam pemahaman analitis yang jernih atas struktur anatomi kejahatan dan ketidakadilan kontemporer. Menuntaskan evolusi rasionalitas Habermasian.

Yogyakarta, 2008

*peminat kajian kebangsaan dan kebudayaan, tinggal di Yogyakarta

No comments: