25.8.08

Indonesia sebagai Fakta Kebudayaan

Cyprianus Lilik K. P.*

Tergetar, jiwa dan rasa Tan Malaka muda, Ki Hajar muda, Sukarno muda dan Yamin muda bertatap muka dengan kebudayaan. Digerakkan oleh benih-benih kesadaran yang belum jelas bentuk dan wajahnya, tetapi dirindukan dan dihayati dengan penuh cinta keterpesonaan. Bukan sebagai sensasi-sensasi sebagaimana kini dimengerti oleh generasi televisi, tetapi sebuah gairah pemerdekaan, yang masih berselimut kabut, kabut pagi penuh pengharapan. Menggemakan aura agung tradisi dan materialitas kesejarahan nusantara, beraduk dengan progresivitas kemudaan anak-anak yang dilahirkan dari jaman peralihan.

Demikian sesungguhnya Republik ini, mimpi ini, yang dinamakan nusantara oleh EFE Douwes Dekker dan Indonesia oleh Ki Hadjar Dewantara –dengan meredefinisi secara politis kosakata etnologi James Richardson Logan-, lahir sebagai persilangan dari materialitas tradisi dan humanisme Barat. Sebuah benturan dan interaksi antropologis yang melahirkan satu klan besar, klan Indonesia. Inilah state of nature yang melahirkan spesies baru kebudayaan dalam risalah peradaban dunia.

Persilangan yang tak hanya muncul sebagai mimpi kolektif dan gelisah sosial-religius Imam Mahdi atau resistensi kultural-kerakyatan ala Samin, tetapi berkat pendidikan humanis liberal Van Deventer dengan triloginya, lahir pula sebagai generasi. Generasi yang berfungsi sebagai basis material bagi mimpi-mimpi bersama bangsa dan saudaranya. Generasi yang isi kepala dan seluruh tubuhnya tak akan lagi bisa menghuni bumi tradisi atau dengan mudah terhisap masuk ke feodalisme kaprajan kolonial.


Urbanitas dan Ambiguitas

Persebaran ide humanisme universal dan kemudian sosialisme, instrumentasi kelembagaan sosial, dan tumbuhnya generasi demi generasi peralihan menjadi medium subur bagi perjuangan pemerdekaan, yang berpuncak pada lahirnya sebuah negara-bangsa baru bernama Indonesia, tetapi di balik jejak sejarah kebangsaan ini tersembunyi pergeseran antropologis, yang hanya bisa dijejaki dari penanda-penanda material dan ketegangan-ketegangan kultural di dalamnya : diletakkan dan terkonsolidasinya kebudayaan urban di bumi nusantara. Bagaimanapun juga, terjadi penyeberangan kultural yang massif di tubuh anak bangsa akibat ekspansi sistem pendidikan, media, dan kenaikan kelas sosial. Urbanitas ini muncul sebagai petualangan personal : pemikiran, geografis, linguistik, dan seterusnya. Urbanitas muncul sebagai gerakan nasional, diawali dari tertangkapnya Rekso Rumekso ke dalam nalar modern via Sarekat Islam. Menyusul gegap gempita veergadring dengan pertarungan Cokroaminoto dan Semaun di panggung massa, mulailah era partai modern, pendidikan modern, disusul gerakan ekstraparlementer dan parlementer, dan pematangan institusional Hatta di akhir era Belanda dan masa penjajahan Jepang.

Urbanitas ini niscaya, sebagai containment utama dari modernitas dan rasionalitas, ia adalah satu-satunya alternatif dalam formatio dan konsolidasi perlawanan kebangsaan. Tetapi sebagai sebuah proses yang memunculkan hibriditas jati diri, ia membuka front pergulatan kebudayaan baru yang tak pernah tuntas sampai saat ini. Dalam kerja pemerdekaan kebangsaan, praktis urbanitas hanya menyelesaikan keindonesiaan sebagai persoalan politik, dan bukan tantangan kultural. Perdebatan kebudayaan Sutan Takdir Alisjahbana tetaplah elitis dan urban, pergulatan kesejarahan Yamin tetaplah sintetis sifatnya. Gerilya desa Tan Malaka dan Lekra terhenti prematur sebagai proyek radikalisasi politik belaka. Urbanitas menjadi satu-satunya cara membayangkan keindonesiaan, mencapai keindonesiaan. Peristiwa keindonesiaan gagal direngkuh sebagai momentum kebudayaan.

Antropologi dan ideologi

Tidak tuntasnya pergulatan manusia Indonesia dengan identitas urbannya dalam ruang struktural modernisasi Indonesia melahirkan kegamangan kultural dalam imajinasi kabur kebangsaan. Kegamangan yang terakomodasi dalam nalar lembaga dan logika pemikiran modern, menempatkan tiap aspirasi kebudayaan dan massa aspirannya dalam alur ideologis. Tidak hanya satu Indonesia yang ditemukan, tetapi beberapa, atau bahkan tak terhitung jumlahnya. Masing-masing merupakan bongkah-bongkah identitas yang siap beradu berbenturan satu sama lain. Hatta berusaha memenangkan pertarungan ini dengan konsolidasi kelembagaan, Sukarno dengan politik media, Suharto dengan developmentalisme : militerisme, birokratisisme, dan ekonomisme. Tetapi yang sungguh berurat akar adalah beamtenstaat (negara kaprajan) yang ditopang militerisme negara dan menghentikan roda dialektis kesejarahan.

Yang tersisa dan kita hadapi kemudian bukanlah proses historis yang mendialogkan arketipe-arketipe kesadaran. Yang ada hanyalah lempeng-lempeng antropologis yang remuk dihantam logika modern kekuasaan : tidak cukup kuat menjadikannya debu-debu peradaban, tetapi tak lagi cukup besar untuk menjadi pijakan perjuangan kebangsaan baru. Yang terjadi kemudian adalah split identitas di tataran subyek dan kelumpuhan kultural di tataran komunal masyarakat.

Ruang kultural Indonesia

Tarikan sistemasi untuk membangun substansi bernegara, dan melanjutkan proyek negara sebagai proyek pencapaian cita-cita kolektif menarik bangunan keindonesiaan menjadi makin instrumental : alih-alih mencoba mencari solusi keretakan kultural yang terjadi, proyek negara justru memperlebar jarak antara keindonesiaan sebagai gejala kultural dan sebagai gejala rasionalitas urban. Tidak ada dialektika yang mencoba menuntaskan. Yang tercipta dan mapan adalah penindasan baru realitas sistem terhadap realitas kultural.

Maka jelas, tugas pertama dan utama kita adalah memulihkan kembali keindonesiaan sebagai ruang praksis dan logika berkebudayaan. Indonesia sebagai asal, medium, sekaligus tujuan dari hidup bersama sebagai dialektika kehidupan. Ini berarti mununtut tuntasnya tuntasnya refleksi kebudayaan, kesejarahan, dan kesepakatan bersama tentang garis batas instrumentalitas dan rasionalitas dalam mengawal dan meneruskan cita-cita keindonesiaan. Indonesia sebagai kerja dan fakta kebudayaan.

Yogyakarta, 2008

No comments: