6.10.07

Partisipasi politis, Partisipasi konsumtif

C. Lilik K. P. (Kompas TEROKA, Sabtu, 27 September 2007)

Warga negara developmental

Kapankah partisipasi berakhir dari keterlibatan politik menjadi keterlibatan konsumen ? Sejak teknokrasi developmentalisme merubah problem putusan politik menjadi putusan saintifik. Sejak kekuasaan tidak dimulai dari proses sosial di ruang publik tetapi di kampus-kampus dan ruang-ruang birokratik. Sejak warga negara hanya menjadi konsumen fungsionalisme negara dan kehilangan hak-haknya sebagai aktor sejarah. Sejak instrumentalisme menjadi satu-satunya hubungan antarlembaga-lembaga negara dan lembaga-lembaga kemasyarakatan. Sejak hubungan negara dan warga adalah hubungan penyedia barang/jasa dan klien mereka.
Adalah sebuah kesalahan besar untuk menyebut kultur konsumtif itu baru lahir di era MTV. Kultur konsumtif itu sudah ada sejak negara menjadi developmental, sebuah mesin sosial besar yang mereproduksi paket-paket kewargaan yang siap dibeli warga negara dengan kepatuhan, pajak, kerusakan alam, dan penipisan berlanjut modal sosial. Kita sudah lama berlatih dan sudah sangat terlatih, menjadi warganegara negara-bangsa developmental adalah pendidikan terbaik sekolah massal pra masyarakat konsumen.

Developmentalisme negara

Di balik developmentalisme negara adalah nalar neoklasikal atas konstruksi subyek manusia modern. Hakikat kemanusiaan terpenuhi ketika di aras sosial ia memiliki kebebasan mutlak dan di aras biologis terpenuhi segala kebutuhan kesejahteraannya. Pemenuhan tugas-tugas ini menjadi syarat mutlak untuk mengukur kinerja negara modern. Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di negara-negara Dunia Ketiga dimana kemiskinan menjadi citra keseharian, penundaan kebutuhan yang pertama pun dianggap sah dan dimungkinkan secara moral. Fungsi-fungsi negara kemudian dibentuk, diletakkan, dan dikembangkan di atas dasar kebutuhan-kebutuhan ini. Fungsi melayani kebutuhan menjadikan negara sebagai sistem dan bukan ruang. Negara bukan lagi peristiwa, bukan pula dialektika pemerdekaan, negara adalah mesin sosial. Res publica berakhir di tangan nalar instrumental kekuasaan.



Sementara secara historis perkembangan developmentalisme di dunia tidak terlepas dari upaya AS membangun ruang pengaruh ekonomi politik di masa Perang Dingin, jelas kontribusi developmentalisme dalam pertumbuhan ekonomi negara-negara Dunia Ketiga sangat dibatasi oleh definisi-definisi negara-negara inti (core), sejauh proses pertumbuhan dan kemajuan negara-negara pingiran (periphery) tidak mengancam dominasi negara-negara inti tersebut. Sentralitas developmentalisme pada ekonomi, teknokrasi, dan militer secara erat terkait dengan dukungan bantuan pelatihan dan pendidikan Barat melalui program-program beasiswa dan bantuan militer mereka.

Sementara publik dilatih untuk menjadi konsumen melalui developmentalisme negara, secara struktural elit lokal (sipil, militer, birokrat, dan pengusaha) juga makin erat disatukan dengan struktur-struktur kekuasaan negara-negara inti. Elit nasional negara-negara Dunia Ketiga adalah perpanjangan dari struktur dominasi negara-negara inti terhadap bangsa-bangsa pinggiran. Tidak heran, bahkan di negara-negara bekas komunis sekalipun, pergeseran negara developmental Dunia Ketiga menjadi negara pinggiran dalam neoliberalisme berlangsung mulus nyaris tanpa perlawanan. Perlahan, etos pemerdekaan yang menggelora di paruh pertama abad 20 dijinakkan, pertama-tama dengan pengakuan atas kemerdekaan negara-negara Dunia Ketiga, disusul dengan bantuan dan “asistensi” pembangunan ekonomi dan hutang jangka panjang, diakhiri dengan reintegrasi bangsa-bangsa pinggiran kembali ke struktur imperialis dari neokolonialisme global. Semua adalah proses rekolonisasi yang bertahap dan sistematis.



Partisipasi Konsumtif

Negara konsumen, bangsa konsumen, lengkap dengan partai-partai penggemar fanatik sebuah produk, adalah bentuk evolusi paling mutakhir dari penghisapan negara-negara inti terhadap pinggiran. Dengan dipandu kultur konsumsi dengan ilusi-ilusi identitas, sensasi kegembiraan, dan kepuasan yang diciptakannya, konsumen menjadi bentuk kewarganegaraan masyarakat yang baru, masyarakat neoliberal.

Bentuk kepuasan dan jati diri masyarakat konsumen tidak hanya ditentukan dengan berapa banyak kapital bisa dibelanjakan, tetapi bahkan sejauh mana dan secepat apa ia bisa dialirkan ke pusat-pusat empirium ekonomi. Semakin canggih dan cepat teknologi sirkulasi kapital (kartu kredit, transaksi elektronik) semakin tinggi pula gengsi seseorang dalam masyarakat konsumen.
Akses kepada pusat-pusat kekaisaran modal menjadi amat penting, atau kalau ini belum berhasil untuk diwujudkan, peniruan atas pusat bisa menjadi bentuk alternatif untuk membangun identitas diri dalam belantara peradaban konsumsi. “Negara teater” Clifford Geertz ternyata masih memiliki urgensi.

Partisipasi konsumtif menjadi kunci dari politik kehidupan yang baru. Konsumsi sebagai sebentuk partisipasi, sebentuk cara dan akses, bukan hanya pada status sosial dan identitas tetapi juga kebermaknaan dan keutamaan masyarakat baru. Kuasa imperialisme baru dimulai dengan penjungkirbalikan logika-logika sosial, seluruh sistem referensi kita pada kebenaran dan keutamaan hidup bersama mengalami pembalikan total.

Apa yang dulu memberi, yakni hidup sebagai produksi dan keterlibatan politis sebagai kerja produktif, sama sekali diubah menjadi hidup sebagai konsumsi, dan proses konsumsi sebagai bentuk partisipasi tertinggi. Dari memberi dan mencipta, menjadi mengambil, dan dengan demikian, juga, melahirkan kompetisi tanpa henti. Dari hidup bersama sebagai akumulasi dan kontribusi menjadi hidup sebagai pertarungan dan eksploitasi tanpa henti. Kita sama sekali hidup di zona kelangkaan, dan sejauh kita berada di bawah bayang-bayang kelam kebudayaan penghisapan ini, selama itulah silang sengketa, perusakan warisan antropologis peradaban (modal sosial dalam bahasa ekonomistik), dan perusakan tanpa henti atas alam akan terus terjadi. Selama itu pula, ketiga hal ini menjadi metode efektif akumulasi kapital ke tangan segelintir orang.

Perdamaian sebagai Kritik Sosial ?

Sejauh ini kita mencari-cari pintu pembebasan, sejauh ini kita merindukan alternatif-alternatif, tetapi perjalanan kritik sosial masih jauh untuk sampai ke sana. Tetapi sementara masih dibutuhkan lebih banyak lagi pembongkaran jejaring halus hegemoni dan dominasi semacam ini dalam praksis keseharian, baiklah bila kita menjadikan pembalikan logika konflik konsumen di atas sebagai titik tolak transformasi sosial : sebuah perdamaian ekonomis, kultural, dan ekologis dalam peradaban konsumen.

Sejauh mana kita bisa menjelmakan perdamaian ekonomis-kultural-ekologis sebagai sebuah moda hidup bersama, sejauh mana kita bisa menjadikan pengalaman hidup bersama sebagai pengalaman saling memberi kontribusi dalam praksis hidup bersama, sejauh mana kita bisa menyingkirkan teror kultur kelangkaan dan membangun moda hidup bersama yang berkelimpahan, di stulah perdamaian menjadi kritik paling canggih bagi semua bentuk penindasan.

Kompas TEROKA, Sabtu, 27 September 2007

No comments: