5.9.06

 Masyarakat damai, masyarakat demokratis

Semakin jelas, mengatasi kultur kekerasan adalah bagian sentral dari upaya mengembangkan sebuah masyarakat demokratis. Masyarakat nirkekerasan mendahului terwujudnya masyarakat demokratis. Masyarakat nirkekerasan adalah masyarakat yang mampu mengakomodasi perbedaan-perbedaan di tengah mereka secara konstruktif. Sementara masyarakat demokratis ditandai oleh kemampuan membangun dan mempercayai institusi sosialnya sendiri dalam mewujudkan solusi-solusi damai bagi tantangan pergulatan hidupnya melalui perantaraan institusi tersebut.
Selanjutnya, penting digarisbawahi, institusi demokrasi bukanlah lembaga yang dibuat tanpa cita-cita. Cita-cita itu adalah kemajuan bersama, kebaikan bersama (bonum comunae) segenap warganya. Maka kepada institusi demokrasi yang baik kita juga bisa mempercayakan impian kesejahteraan, kemajuan, dan kadilan itu untuk mendapat penyaluran dan realisasinya secara damai dan tertata.

Maka, jelaslah, jika cita-cita bersama yang ada di dalam kepala kita-kita warganya ini, yang juga menjadi impian para pendiri bangsa ini, dan yang juga melatarbelakangi hadirnya negeri ini adalah diwujudkannya masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera, pengembangan sebuah masyarakat damai mutlak dilakukan sebagai prakondisi masyarakat demokratis, dan kemudian, pra kondisi negeri demokratis pula.
Bahkan kepercayaan pada nilai-nilai keadilan (justice) sekalipun tidak boleh meninggalkan kepercayaan pada jalan perubahan sosial secara damai : karena keadilan hanya akan langgeng ketika di sana tidak ada dendam dan kebencian, perasaan iri, dan juga kecurigaan.

Pemuda di tengah dunia, mengapa belajar damai ?

Banyak keragu-raguan akhir-akhir ini, keragu-raguan yang tidak hanya lintas generasi –orang tua memandang orang muda- namun juga sebagai keragu-raguan diri orang muda itu sendiri, tentang jati diri identitasnya, tentang kemampuan-kemampuan mereka melanjutkan estafet sejarah, sebuah tanggung jawab atas masa depan. Mengapa ragu-ragu orang muda ? Bukan karena tidak mampu, bukan karena kurang iman, atau ketrampilan, tapi memang harus disadari, konteks kepentingan rejim kekuasaan modal global tidak menginginkannya demikian. Sudahkah kita sadar akan hal ini ?

Sampai saat ini orang selalu membayangkan kemajuan hanya bisa dicapai dari pijakan tanah yang keras. Masa depan menuntut kualitas-kulaitas solid dalam diri individu dan masyarakat. Persoalannya apakah jaman ini memberi kesempatan pada realisasi hal ini ? Juggernaut, katanya.



Juggernaut katanya, tidak memberi kesempatan pada penciptaan pijakan yang stabil bagi kehidupan. Karena tanah yang keras tetap diimpikan, orang-orang banyak lari ke dogmatisasi. Lalu pengurungan diri. Tapi yang ada di balik tempurung hanya katak, dan kita sama sekali bukan katak.

Adakah posisi ekuilibrium itu ? Di sana ? Bagi orang–orang muda, dengan jiwa muda yang menggelegak bernyala-nyala ? Tempat orang muda bisa menjadi pertapa muda yang merenungkan dan menyikapi hidupnya dengan arif dan bajik ? Tentang hal ini kita tak bisa memimpikannya, apalagi memaksakannya sebagai ajaran dan klaim moral yang harus dipercaya disetiai tanpa kompromi. Bukan, bukan demikian mendampingi jiwa muda.

Satu-satunya cara mendampingi jiwa muda adalah menyemangati mereka untuk bersetia dengan proses, membangun kepercayaan diri di tengah perjuangan mereka di tengah jaman. Perjuangan yang sulit karena pada saat yang bersamaan mereka masih harus belajar tentang hidup. Karena itu adalah penting untuk membuat mereka terus gembira dan dilanda ‘demam syukur’, tahu bahwa hidup tidak diciptakan sia-sia dan bukannya tanpa tujuan luhur.

Lalu mengapa damai ? Karena damai membuat orang-orang muda lebih mampu belajar, tenang mengenali diri dan potensi, tenang merencanakan dan mengembangkan diri, tidak hanya untuk masa depan, tapi terutama untuk saat ini, kini dan di sini. Karena itulah kita harus belajar damai, tidak grusa-grusu dan kesusu, tapi damai yang gembira, optimis, dan merdeka. Ya, hanya rasa damai yang membuat kita tetap menjadi manusia merdeka di tengah jaman yang menuntut pembudakan ini : nafsu, kekuasaan, uang, kepenyingan sesaat, trend, gaya hidup.

Kegembiraan yang optimis, Ini juga susah, karena pendidikan negeri kita ini dengan sistematis melumpuhkan semangat dan jiwa-jiwa muda dengan kurikulum, pembedaan siswa cerdas dan bodoh yang terlembaga dan dengan sengaja menjadikan yang mayoritas itu bodoh, hanya bisa masuk sekolah kelas dua, kelas tiga, kelas empat, atau tanpa ruang kelas sama sekali. Akibatnya kita hanya sedikit mempunyai orang cerdas, itupun individualis, dengan kegemaran bertarung satu sama lain untuk sebuah prestasi kecil, dan tanpa sadar hanya dilatih untuk menjadi sekrup kapitalisme. Kalau demikian masih adakah harapan ? Harapan bagi orang-orang miskin dan terpinggirkan ?

Orang-orang kampung,
damai adalah bagian dari weapon of the weak


Lalu adakah tempat bagi orang-orang miskin, pemuda kampung seperti kita-kita ini ?
Ada kalau kita mau berjuang mewujudkan masa depan kita. Tentu saja, siapa yang paling berkepentingan atas masa depan diri, selain sang aku itu sendiri ? maka kita harus mau membuat perubahan, perubahan damai menuju masyarakat yang jauh lebih baik.

Satu-satunya jalan resources yang kita punya dalam masyarakat nirtata nirrasa ini adalah kepercayaan pada jalan damai pada segala sesuatu. Mengapa ? Karena resiko hidup di tengah dunia yang konon makin poranda dalam tata kekuasaan-kepentingan yang makin tak ramah ini, sungguh tak terhindarkan dan tak bisa dengan mudah terselami dalam hitungan-hitungan tradisional. Memukul anak kecil, bisa jadi konflik satu desa, atau bahkan konflik antar agama di skala nasional. Memarahi anak kecil, bisa-bisa membuat bapaknya marah, ini kita semua tahu. Tapi siapa menduga kalau bapaknya ini aparat, atau tokoh agama, atau penggemar kasak-kusuk kesana kemari ? Sungguh, kita hidup di dunia penuh resiko. Berjuang menciptakan isi kepala yang selalu dingin terkompres es itulah yang harus dipelajari, sulit memang, tapi ia tetap harus dipelajari, dan diam-diam punya seninya tersendiri.

Belajar hidup damai adalah bagian penting dari senjatanya orang miskin. Itu membuat mereka lebih bersatu. Lebih kompak dalam bersama memperjuangkan kebaikan hidupnya. Ketiak suara lebih bersatu, ia lebih mudah didengar dan lebih dihargai. Ingat juga kegemaran kekuasaan untuk mempermainkan tanda-tanda, simbol-simbol agama, atau simbol-simbol apa saja sekedar untuk meraih keuntungan pribadi mereka. Karena simbol bisa mengaburkan substansi, dan begitu substansi kabur, kabur pula kemampuan kita berpikir jernih dan rasional dalam menyikapi hidup.

Maka bolehlah di sini disimpulkan, membangun masyarakat damai adalah adalah prasyarat mutlak bagi terwujudnya masa depan yang lebih baik di tengah kompleksitas tantangan hidup saat ini. Maka marilah kita belajar untuk bersama menempuh jalan damai dalam memperjuangkan nasib dan masa depan kita.

Salam, Kadipaten 2005

No comments: