31.10.16

Pokemon GO dan apa yang menggerakkan sebuah bangsa ?


Belajar dari Pokemon Go
Diluncurkan pada 6  Juli 2016, dalam 13 jam, sebuah aplikasi permainan menduduki peringkat pertama di AS. Dua minggu setelah diluncurkan, 19 Juli 2016, ia mencapai puncaknya, dalam satu hari ia didownload 45 juta kali dan dimainkan oleh 30 juta orang. Pada tanggal 3 Agustus 2016 ia masih dimainkan oleh 15 juta pemain harian,ini  jauh lebih tinggi dari peringkat kedua Clash of Clans’ 3.1 juta pemain harian, dan Candy Crush Saga’s 4 juta pemain harian.[1] Ia didownload 81 kali setiap detik, atau 6.998.400 kali setiap hari.
Ia menjadi produk aplikasi paling menguntungkan sepanjang tahun 2016 dengan  didownload lebih dari 500 juta orang. Dalam 5 hari nilai saham Nintendo bertambah 9 milyar dollar (117 trilyun rupiah).[2] Hingga 12 Agustus 2016 ia sudah mengumpulkan keuntungan 258 juta dollar (3,354 triyun rupiah).
Ya, Pokemon Go namanya. Sebuah permainan berbasis augmented reality, yakni integrasi antara realitas dengan dunia maya melalui gadget. Berbasis figur dan narasi Pokemon karya Satoshi Tajiri yang dirilis  sejak 27 Februari 1996. Pokemon dibangun di atas model game sejenis yang kurang populer, Ingress, dan dikembangkan developer Niantic, John Hanke.
Pokemon Go didesain sangat inspiratif, Ia mendorong kita untuk bangkit dari tempat duduk, menggerakkan kaki dan tangan kita, dan beranjak menemui dunia. Ia bukan hanya memaksa kita keluar ke halaman rumah, tetapi juga bertemu, berinteraksi satu sama lain di antara kita.
Ya, Pokemon Go mengakhiri era ketika game berbasis mobile berarti hanya duduk diam di belakang layar gadget. Sebaliknya, ia menciptakan sebuah interaksi dinamis yang menyatukan ruang, waktu, dan pribadi-pribadi manusia. Maka kata-kata (yang sebenarnya tidak tepat itu) “autis teknologi” kehilangan relevansinya, kita semua bisa berlatih (kembali) berbicara dari hati ke hati, bersentuhan, berpendapat, dan saling bekerjasama.[3]
Kehadiran Pokemon Go mampu memberikan kilatan masa depan bagi kita, bagaimana manusia dan teknologi digital menyatu dalam hidup sehari-hari. Sebuah dunia masa depan, era Web 4.0[4], sebuah era internet of things ketika seluruh benda dalam kehidupan manusia terkoneksi dengan internet dan dirajut menjadi satu melalui revolusi big data.
Dan apakah yang membuat sebuah aplikasi mobile tersebar begitu cepat, hingga melejitkan nilai Nintendo melampaui Sony ? Pertama, ketersediaan infrastruktur komunikasi; kedua, konten dan narasi substantif yang terkelola baik dan dimatangkan selama bertahun-tahun; ketiga, pemahaman akan situasi pasar dan strategi menghadapinya; keempat, lautan manusia yang langsung tidak langsung sudah disiapkan untuk menerima kehadiran sebuah game bernama Pokemon Go.
Maka, ketika kekuatan-kekuatan itu memadu menjadi satu, ia menciptakan gelombang viral yang bukan hanya mampu mengundang orang masuk ke dalam bentang semesta digital, tetapi mendorong mereka untuk turun ke jalan-jalan berburu makhluk-makhluk imajiner  yang ratusan jumlahnya itu.

Yang tak menanti sempurna tetapi berani menulis Indonesia
Tetapi bertahun-tahun yang lalu, sebelum istilah psikologi pemasaran dikenal, sebelum semua orang punya gadget di tangan, sebelum lahir metodologi melakukan riset pasar, sementara insfrastruktur komunikasi sangat terbatas, sesuatu yang lebih besar dituliskan. Tak menunggu sempurna, mereka bahkan tak mengerti apa saja yang dibutuhkan untuk menopang lahirnya sebuah bangsa.  Tentu saja, jelas bukan gadget di setiap tangan,  psikologi pemasaran, koneksi internet, user experience design  [UX design], dan sejenisnya) Mereka gelisah, mereka disengat  sejarah. Dan yang terpenting  : mereka bergerak. Sembari berjalan mereka belajar, sembari berjalan mereka menuliskan peta perjalanan.
Sesuatu itu bernama Indonesia. Dan di balik nama itu, tersembunyi generasi demi generasi pemberani.
Penggunaan kata Indonesia pertama kali oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia, dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia volume IV tahun 1850. ada jarak 63 tahun sebelum kata itu digunakan pertama kali oleh seorang pribumi, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) untuk menamai biro persnya “Indonesische Persbureau “ saat dibuang di negeri Belanda tahun 1913.[5]
Dibutuhkan waktu bagi kegelisahan dimarginalisasi dari seorang doktor pribumi pertama, Dr. Abdul Rivai menjelma menjadi kegelisahan untuk memperjuangkan nasib pribumi dan akhirnya menjelma menjadi gerakan kemerdekaan. Kegelisahan nasib pribumi itulah yang menggerakkan seorang dokter sepuh dr. Wahidin Soedirohoesodo untuk berkeliling Jawa mencari dana pendidikan bagi para calon dokter Jawa. Pengalaman serupa di dunia jurnalistik menggerakkan seorang Tirto Adhisoerjo melahirkan pers nasionalis yang pertama.[6]
Aspirasi ini terus mengental hingga menggerakkan KI Hajar, EFE Douwess Dekker, dan dokter Cipto Mangunkusumo dalam Indische Partij untuk secara terbuka menyatakan keinginan kemerdekaan Indonesia.  Cita-cita utuh menjadi republik baru diserukan Tan Malaka lewat buku Naar Repoeblik Indonesia ! di tahun 1925.  Sementara kesepakatan bahwa indonesia adalah satu identitas bersama, satu subyek historis baru dicapai melalui Sumpah pemuda 1928.
Proses menulis Indonesia ini pun belum selesai, hingga bahkan sesudah kemerdekaan, seorang Sukarno masih terus melanjutkan karyanya merajut keindonesiaan dengan berkeliling nusantara, bertemu dengan para raja, pemimpin lokal, para pemuda, dan para pengusaha setempat untuk menguatkan persepakatan bersama bernama Indonesia.
Tanpa gadget, tanpa internet, tanpa media sosial, tanpa SEO, tanpa riset pasar, tanpa psikologi pemasaran, tanpa strategi digital, tanpa perencanaan finansial, bahkan tanpa pesawat, tanpa jalan raya yang mulus, tanpa kepastian dana pendukung, tetapi mereka berhasil menulis keindonesiaan. Just Do It, Kata Nike.
Dengan apa yang kita punya, mungkinkah mengulang peran sejarah yang sama ? Menulis dan merajut (kembali) nusantara ?

Mendownload (kembali) Indonesia, atau membiarkan bangsa menjadi layu
Bagaimana seorang Tan Malaka mendownload Indonesia ke isi kepalanya ? Bagaimana Soekarno menulis program aplikasi bernama Indonesia merdeka di ruang batinnya ? Atau bagaimana seorang Hatta menjalankan program nalar kebangsaannya ?
Mereka melihat bangsanya. Mereka menghormati kegelisahan hati mereka. Mereka menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak di kepala mereka. Mereka membaca. Mereka berdiskusi. Mereka berorganisasi. mereka membangun aksi. Mereka berkelana dari kota ke kota, komunitas ke komunitas, pribadi ke pribadi.
Dan melalui proses inilah keindonesiaan itu terumuskan, dihidupi, dan diperjuangkan. Dari situ kita bisa memperkirakan apa yang sebaliknya terjadi bila sebuah generasi kehilangan kepekaan pada sesama anak bangsa, kehilangan minat untuk membaca-berdiskusi-berorganisasi : Keindonesiaan itu akan layu. Sebuah bangsa akan layu ketika pengetahuan, organisasi, dan aksi tidak bergulir. Ketika benih kebangsaan tidak lagi disemaikan di bumi pertiwi kenyataan.
Ketika engkau tidak membaca dan mendiskusikan sebuah buku, bangsamu akan layu.
Dan niscaya, di tengah kegelisahan akan masa depan keindonesiaan kita, mau tidak mau kita harus mendownload kembali keindonesiaan kita. Dan tanggung jawab itu ada padamu, generasi.  Seluruh generasimu.

menjalankan Indonesia sebagai aplikasi
Maka sebagaimana kita mendownload dan menjalankan aplikasi Pokemon Go, mari menjalankan keindonesiaan kita. Mari melihat kembali bangsa kita. Menghormati kegelisahan hati kita. Menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak di jiwa  kita. Kita membaca. Kita berdiskusi. Kita berorganisasi. Kita membangun aksi. Kita berkelana dari kota ke kota, komunitas ke komunitas, merajut Indonesia dari hati ke hati.
Kita melihat berarti kita bersedia membuka mata. Mata kita yang ketiga, mata yang letaknya di hati kita.
Menghormati kegelisahan itu berarti menjadi peka akan ketidakadilan dan situasi perendahan martabat kehidupan yang berlangsung di dunia sekitar kita. Kita melihat wajah dunia yang menderita dan hati kita menderita bersama-sama dengan mereka. Sementara sikap diam dan tidak peduli akan semakin membuat hati kita lebih menderita.
Menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan jiwa kita berarti kita berani memutuskan untuk mengambil tindakan. menolak terhenti pada keraguan dan apatisme, tetapi berkata ya pada pertanyaan yang ada. menjadikan pertanyaan dan kegelisahan yang ada di masyarakat sebagai tugas dan mandat pribadi untuk menciptakan perubahan.
 Kita membaca, kita berdiskusi. kita belajar, mematangkan pengetahuan, memperluas cakrawala pemahaman juga kesepahaman dengan sesama teman seperjuangan, hingga kita memiliki cukup bekal untuk mengambil tindakan.
Kita berorganisasi. Kita membangun aksi. Yakni perjuangan riil menciptakan perubahan yang menuntaskan kegelisahan. Sebuah kerja membangun jembatan antara penderitaan dan harapan, berpijak pada buah-buah pengetahuan dan kapasitas yang dimiliki.
Kita berkelana dari kota ke kota, komunitas ke komunitas, merajut Indonesia dari hati ke hati. Karena pertama-tama perubahan sosial dalam bentuk apapun sejatinya diawali ketika kita bisa menyatukan kegelisahan personal satu sama lain, menjadi lapisan aspirasi perubahan di tengah masyarakat. maka kerja menyatukan, menjahit harapan-harapan adalah langkah penting dari kerja pembebasan.

Tarian Burung-burung
Pokémon GO is the latest proof of concept that if you combine a mobile game with innovative technology, like augmented reality, and add a partnership with such mobile ecosystem behemoth as Google, mostly likely you will hit a jackpot and create not just a new mobile game but a worldwide phenomena. And of course, there is one extra component of the Pokémon GO success – it’s based on previously popular Pokémon brand.[7]
Demikian pula dengan Indonesia. Indonesia adalah bukti aktual yang menunjukkan bahwa ketika kita berhasil menyatukan suara hati yang rindu pemerdekaan dengan seni berorganisasi dan menambahkan jejaring dan ekosistem pendukung perjuangan, kita akan meraih hadiah kemerdekaan, yang bukan hanya menciptakan sebuah tatanan negara bangsa baru, tetapi juga menginspirasi negara-negara dunia Ketiga untuk bangkit merai martabatnya. Dan tentu saja, ada satu komponen tambahan dari keberhasilan konsep Indonesia : bangkitnya roh-roh pahlawan di kedalaman hati anak-anak bangsanya.
Bagaimana menggerakkan sebuah bangsa ? Gerakan itu besar. gerakan itu merubah jutaan orang, gerakan itu terentang dalam bentang ruang dan waktu yang sangat lebar. Pada setiap elemen dari gerakan itu adalah gerakanmu. Gerakan itu dimulai dari dirimu. Indonesia adalah engkau.
Maka tarianmu adalah tarian bangsamu. Cinta yang mengalir dan menggerakkan hatimu, biarlah itu juga menggerakkan pikiran, ucapan, dan tindakanmu. Ketika cinta itu mengalir keluar dari batinmu menjadi ragamu, keluar dari ragamu menjadi pancaran perubahan bagi dunia sekitarmu, engkau sedang memperbaharui keindonesiaanmu. Bergeraklah, dan engkau menjadikan Indonesia baru.

Yogyakarta, 26 Oktober 2016
Cyprianus Lilik Krismantoro Putro



[1] Connie Hwong, Pokemon Go Thirty Days Later, http://www.vertoanalytics.com/pokemon-go-thirty-days-later/
[2] Artyom Dogtiev, http://expandedramblings.com/index.php/pokemon-go-statistics/
[3] tentang melemahnya pengalaman/interaksi langsung di era digital, lihat https://www.maynoothuniversity.ie/sites/default/files/assets/document/SiobhanMcGrath.pdf, atau http://search.proquest.com/openview/044b7ee251b3b0c014af43f0792f42c7/1.pdf?pq-origsite=gscholar
[4] Periodisasi evolusi internet dalam kebudayaan manusia. Web 1.0 ditandai oleh website tradisional satu arah. Era Web 2.0 ditandai oleh desain interaktif berupa media sosial dan blog. Web 3.0 ditandai oleh akses internet melalui alat-alat mobile/gadget. Web 4.0 ditandai oleh terajutnya segala benda di sekitar kita dengan internet dan penerapan big data.
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia
[6] buku yang wajib baca terkait peran Rm Tirto Adhisoerjo dalam membentuk gagasan keindonesiaan melalui jurnalistik ini adalah Karya Pram Ananta Toer, Sang Pemula dan mahakaryanya, Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
[7] Artyom Dogtiev, Pokémon GO Usage and Revenue Statistics, http://www.businessofapps.com/pokemon-go-usage-revenue-statistics/, 15 August 2016

16.10.15

Melampaui bela negara, jalan lain nation building

Program bela negara kementerian pertahanan jelas bertujuan ideologis daripada praktis. Ia adalah senjata bermatra ganda : meneguhkan kembali kebangsaan pada tingkat metanarasi sebagai pengunci pertahanan nasional di lapis psikologis rakyat setelah bertahun-tahun lamanya keindonesiaan terabaikan bahkan terinjak-injak; kedua, dalam efek negatif terbukanya peluang manipulasi imaji kebangsaan oleh kekuasaan, yang membangun kembali peluang kontrol oleh paradigma keamanan terhadap masyarakat. Dan persis di ranah inilah suara minor bergema mengkritisi rencana kementerian pertahanan tersebut.

momentum politik negara integralistik
Upaya untuk menguasai kembali imaji hidup bersama inilah yang mendapat penentangan kuat dari sebagian besar kalangan, khususnya aktivis gerakan sosial yang melihat ancaman menguatnya kembali militer dan negara vis a vis rakyatnya. Terlebih ia secara lebar membuka ancaman pelemahan lebih jauh rakyat vis a vis negara (dan pasar), yang notabene sangat terasa di tengah kelumpuhan gerakan hak-hak asasi manusia di Indonesia pasca 1998.
Di sisi lain, kementerian pertahanan cukup sabar menantikan kematangan (atau kelelahan?) masyarakat untuk menerima kembali gagasan negara kuat. Gagasan negara kuat sendiri Bela negara diandaikan menjadi prakondisi lahirnya kembali keindonesiaan yang selama ini terpinggirkan oleh fundamentalisme religius dan fundamentalisme budaya Barat. Fundamentalisme modal sendiri jelas dipandang secara ambigu di antara para pendukung gagasan negara kuat. Ada keretakan antara nasionalis romantis yang lebih mendukung nasionalisme ekonomi daripada pengusaha pendukung integrasi total pasar bebas.

25.12.14

11 Juni 2011



Aku melihat seorang gelandangan dengan tubuh sangat kurus di pinggir jalan Cik Di Tiro, utara Gramedia. Aku melewatinya, tapi aku gelisah dan mengeceknya. Dia masih bernafas. Aku mampir mencari minuman dan roti di warung di dekatnya. Tidak ada roti. Aku membeli air kemasan dan meletakkan di sampingnya.
Aku masuk dan membaca buku di Gramedia. Sebuah buku besar jatuh berdebum di belakangku. Aku melirik. Aku diam saja. Ada seorang pemuda mencari buku, melihat buku jatuh itu, dan ia diam saja. Seorang perempuan sedikit lebih tua, melakukan hal yang sama. Satu jam lebih buku itu di sana. Aku tetap membaca tak jauh dari situ. Sekali-kali melirik ke buku itu. Beberapa orang yang lain datang dan mengulangi hal yang sama. Aku  melihat jamku. Waktuku kembali ke rumah. Aku meletakkan buku yang aku baca kembali ke tempatnya. Aku memungut buku itu dan mengembalikan pada tempatnya.
Aku di shelter trans Jogja, ada seorang pemuda salah turun. Dia bertanya pada penjaga shelter, yang juga tidak tahu tempat itu. Aku yang duduk di dekatnya berdiri dan memberi tahu, nanti di shelter dekat kali Code mas.” Dia tersenyum dan berterimakasih. Dia duduk di bangku yang semula aku duduki.
Menjelang perempatan Kantor Pos Besar, ada seorang bapak naik dengan menggendong anaknya. Tidak jauh dariku. Tetapi bis penuh. Aku diam saja, dengan alasan bis terlalu penuh. Di shelter depannya banyak penumpang turun, bapak dan anak itu berjalan ke begian belakang bis. Sepertinya mereka mendapat tempat duduk.
Aku pulang berjalan menuju rumah. Beberapa anak kecil bermain dengan sepedanya. “Tapi jangan melindas kadalnya ya” Kata salah seorang gadis mungil di situ.”Kadal yang mana?” lalu mereka merubungi kadal di tengah jalan. Aku melewatinya, kadal itu setengah mati terlindas kendaraan, isi perutnya keluar tetapi ekor dan kepalanya masih bergerak-gerak.
Kalau aku punya anak nanti, persetan dengan les sekolah, kursus komputer, Bahasa Inggris, dan musik. Aku akan mencari kursus yang bisa mengajari anak-anakku untuk gelisah tentang kadal itu.


Ibu : sebuah pagi di negeri hujan




Pagi hari terang di langit, tapi gerimis terus saja. Gerimis adalah legenda, kini legenda itu menghampiri jendela kamarku. Di situ di tanah coklat di bawah jendela, cekungan-cekungan kecil oleh tetes-tetes hujan, menyisakan batu dan kerikil, sepotong rumput bergoyang di genang air. Di cekungan-cekungan itulah dulu kakek nenek kami biasa membuang botol-botol dengan menanamnya terbalik untuk menjaga dan merawat tanah. Kini botol lebih berharga daripada tanah. Urusan perut tentu tak bisa dikalahkan.

Atma namaku. Jiwa yang berkelana. yang gelisah oleh desaku yang beranjak mengkota, dan kota terlalu asing bagi manusia. Menatap hujan yang semakin jauh dari kanak-kanak. Merenungkan kanak-kanak yang kehilangan kesempatan merayakan hidup di bawah derai-derai hujan. Merenungkan para orang tua yang terlalu takut anak-anaknya berhujan-hujan dan belajar langsung pada sang alam. Merenungkan kemanusiaan yang menyerahkan kesatuannya pada alam ke tangan para ilmuwan demi “kesehatan dan pola hidup yang aman bagi manusia”. Lupa bahwa bahaya terbesar bagi alam dan  manusia adalah manusia itu sendiri.
Demikianlah aku Atma, jiwa yang selalu bertanya. Dan selalu di saat-saat seperti itu Sang Hidup punya cara lain bersapa dengan jiwaku.

Pagi ini di bawah gerimis yang membasuh bumi, aku enggan berdoa Rosario lagi, seperti yang selalu dinasihatkan ibuku. Tapi tiba-tiba ibuku berdiri di depan pintu, tersenyum, lalu mengulurkan teh hangat padaku. Ibuku berkata, “Sudah bangun, Ngger ?” Pada senyumnya, pada asihnya aku tak kuasa. Dan itulah mengapa aku berdoa Rosario tiap pagi, meski aku tak begitu menyukainya. Dan tentu satu yang kuminta, kelanggengan kasih itu, yang menyapaku dengan sapaan hangat yang sama tiap kali pagi tiba : “Sudah bangun, Ngger ?”

Begitulah Sang Hidup selalu punya cara merawat jiwaku, ketika ia gelisah akan hal-hal besar, ketika ia menatap sejarah dan merasa terkerdilkan. Ibu. Segelas teh hangat dan senyum itu, lebih dari cukup untuk memperbaharui peradaban.

21.12.14

Gigirpasang



“Nanti sampah plastiknya dibawa pulang ya mas.” Kang Sakir sekali lagi mewanti-wanti kami untuk tidak meninggalkan sampah plastik di sekumpulan rumah di daerah Deles, Klaten, Jawa Tengah itu. Tentu, saja pemukiman yang terdiri dari 7 rumah dengan 33 jiwa itu terlalu kecil untuk disebut dusun. Gigirpasang namanya, sebuah pemukiman kecil yang menantang untuk dicapai. Tidak ada jalur sepeda motor ke sana. ya, kamu harus menyusuri anak tangga selama 45 menit untuk sampai ke gerbang pemukiman. Benar, kampung kecil itu hanya bisa dicapai dengan berjalan kaki melalui rute yang menantang : selepas jalan desa engkau akan melewati jalan setapak, diikuti dengan jalan menurun yang berbelok-belok menuruni jurang di lereng tenggara Merapi tersebut, menyeberangi lembah sempit, jalan akan berubah terjal dan engkau harus menyusuri ratusan anak tangga batu dan semen yang untuk mencapainya.
Sebuah pemandangan menakjubkan yang selama ini barangkali hanya kamu lihat dalam film kungfu terpapar di depanmu : anak tangga yang sangat tinggi, dengan sebuah gerbang di atas bukit sana menantimu. Itulah Kampung Gigirpasang. Kampung yang terdiri dari satu keluarga besar yang membangun budaya unik khas milik brayat Gigirpasang.
Tak sepotong sampah plastikpun boleh ditinggalkan para tamu. Alam adalah suci dan kehormatannya tak boleh dicemari. Jangan pernah pula membawa makanan-makanan instan ke kampung itu, dengan santun mereka akan menolak kehadirannya. Dan setiap kali mereka akan menebang pohon untuk mendirikan rumah atau gawe keluarga, mereka wajib terlebih dahulu menanam pohon penggantinya. Tidak untuk generasi mereka, tetapi bagi anak-anak dan cucu mereka kelak, persis sebagaimana dulu kakek dan nenek mereka menanam pohon sebagai warisan hidup bagi generasi-generasi sesudahnya.
Gigirpasang adalah spirit yang hidup menjadi tradisi. Tanpa proposal atau naskah akademik, ia adalah keutamaan yang tertanam jauh sebelum gelisah modernitas menemukan kata-kata dan perjuangannya. Penghormatan pada bumi yang mengendap menjadi refleks dan insting hidup keseharian. Dan hati kita takjub penuh hormat padanya.

Kelimutu #1



Duduk bersila menatap Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Polo di ketinggian Tugu Sukarno, sebuah suara berkata kepadaku :
“Ketika engkau menapakkan kakimu ke anak-anak tangga menuju ketinggian ini, engkau tahu engkau menapak lebih dalam ke dalam hatimu sendiri. Waktu engkau memutuskan perjalananmu sebagai petualangan, engkau tahu engkau membuka dirimu bagi semua kemungkinan.
Menjelajahlah ke tempat yang belum pernah kamu jelajahi, pergilah ke tempat-tempat yang bahkan tak bisa kamu bayangkan, bebaskanlah dirimu dari semua imajinasi yang pernah kamu miliki, keluarlah dari dunia yang masih bisa kau kira-kira isinya, dan dengan itu engkau menghadapkan diri pada dirimu sendiri : batas-batas, ketakutan, keberanian, dan kapasitasmu sendiri. Tidak ada orang lain, tidak ada yang kau kenal, yang ada hanya kau dan dirimu sendiri.
Mungkin engkau merasa siap, tetapi kini engkau tahu engkau tak siap. Sejatinya engkau tidak pernah siap. Kesiapanmu hanya ada ketika engkau mampu memperkirakan sesuatu. Kini, tiba-tiba saja engkau kehilangan petunjuk dan batu-batu penanda kalkulasi dan imajinasimu. Engkau tak pernah tahu dunia dan peristiwa apa yang akan datang menjumpaimu.
Dan disitulah kau tahu ukuran-ukuranmu, latihan-latihan hidup yang telah kau lalui, kekosongan akibat pelajaran yang terlewatkan, kelemahan dan kekuatanmu sendiri. Mungkin, tiba-tiba engkau menggugat dirimu sendiri, merasa harus membenci dirimu sendiri atas ketidaktuntasan menyiapkan hidup. Engkau merasa malu, tetapi engkau sudah terlambat.
Sesaat engkau merasa hidup telah direnggut daripadamu , tetapi tiba-tiba engkau sadar, sejatinya engkau tak pernah memiliki hidup itu, engkau hanya diperkenankan mengisi pikiranmu dengan benda-benda, sosok manusia, dan peristiwa yang sejatinya sama sekali bukan milikmu.
Lalu tinggallah kini dirimu dan dunia tanpa batas yang terbentang di hadapanmu : engkau tahu tidak ada jalan mundur kecuali engkau menjadi pengecut. Yang ada hanyalah maju, berdiam diri berarti mati.
Yang tersisa hanyalah ini : lentera hatimu sendiri, keberanianmu, latihan-latihan yang telah engkau jalani, serta saudara-saudara jiwa yang kau temui sepanjang perjalanan.