31.10.16

Pokemon GO dan apa yang menggerakkan sebuah bangsa ?


Belajar dari Pokemon Go
Diluncurkan pada 6  Juli 2016, dalam 13 jam, sebuah aplikasi permainan menduduki peringkat pertama di AS. Dua minggu setelah diluncurkan, 19 Juli 2016, ia mencapai puncaknya, dalam satu hari ia didownload 45 juta kali dan dimainkan oleh 30 juta orang. Pada tanggal 3 Agustus 2016 ia masih dimainkan oleh 15 juta pemain harian,ini  jauh lebih tinggi dari peringkat kedua Clash of Clans’ 3.1 juta pemain harian, dan Candy Crush Saga’s 4 juta pemain harian.[1] Ia didownload 81 kali setiap detik, atau 6.998.400 kali setiap hari.
Ia menjadi produk aplikasi paling menguntungkan sepanjang tahun 2016 dengan  didownload lebih dari 500 juta orang. Dalam 5 hari nilai saham Nintendo bertambah 9 milyar dollar (117 trilyun rupiah).[2] Hingga 12 Agustus 2016 ia sudah mengumpulkan keuntungan 258 juta dollar (3,354 triyun rupiah).
Ya, Pokemon Go namanya. Sebuah permainan berbasis augmented reality, yakni integrasi antara realitas dengan dunia maya melalui gadget. Berbasis figur dan narasi Pokemon karya Satoshi Tajiri yang dirilis  sejak 27 Februari 1996. Pokemon dibangun di atas model game sejenis yang kurang populer, Ingress, dan dikembangkan developer Niantic, John Hanke.
Pokemon Go didesain sangat inspiratif, Ia mendorong kita untuk bangkit dari tempat duduk, menggerakkan kaki dan tangan kita, dan beranjak menemui dunia. Ia bukan hanya memaksa kita keluar ke halaman rumah, tetapi juga bertemu, berinteraksi satu sama lain di antara kita.
Ya, Pokemon Go mengakhiri era ketika game berbasis mobile berarti hanya duduk diam di belakang layar gadget. Sebaliknya, ia menciptakan sebuah interaksi dinamis yang menyatukan ruang, waktu, dan pribadi-pribadi manusia. Maka kata-kata (yang sebenarnya tidak tepat itu) “autis teknologi” kehilangan relevansinya, kita semua bisa berlatih (kembali) berbicara dari hati ke hati, bersentuhan, berpendapat, dan saling bekerjasama.[3]
Kehadiran Pokemon Go mampu memberikan kilatan masa depan bagi kita, bagaimana manusia dan teknologi digital menyatu dalam hidup sehari-hari. Sebuah dunia masa depan, era Web 4.0[4], sebuah era internet of things ketika seluruh benda dalam kehidupan manusia terkoneksi dengan internet dan dirajut menjadi satu melalui revolusi big data.
Dan apakah yang membuat sebuah aplikasi mobile tersebar begitu cepat, hingga melejitkan nilai Nintendo melampaui Sony ? Pertama, ketersediaan infrastruktur komunikasi; kedua, konten dan narasi substantif yang terkelola baik dan dimatangkan selama bertahun-tahun; ketiga, pemahaman akan situasi pasar dan strategi menghadapinya; keempat, lautan manusia yang langsung tidak langsung sudah disiapkan untuk menerima kehadiran sebuah game bernama Pokemon Go.
Maka, ketika kekuatan-kekuatan itu memadu menjadi satu, ia menciptakan gelombang viral yang bukan hanya mampu mengundang orang masuk ke dalam bentang semesta digital, tetapi mendorong mereka untuk turun ke jalan-jalan berburu makhluk-makhluk imajiner  yang ratusan jumlahnya itu.

Yang tak menanti sempurna tetapi berani menulis Indonesia
Tetapi bertahun-tahun yang lalu, sebelum istilah psikologi pemasaran dikenal, sebelum semua orang punya gadget di tangan, sebelum lahir metodologi melakukan riset pasar, sementara insfrastruktur komunikasi sangat terbatas, sesuatu yang lebih besar dituliskan. Tak menunggu sempurna, mereka bahkan tak mengerti apa saja yang dibutuhkan untuk menopang lahirnya sebuah bangsa.  Tentu saja, jelas bukan gadget di setiap tangan,  psikologi pemasaran, koneksi internet, user experience design  [UX design], dan sejenisnya) Mereka gelisah, mereka disengat  sejarah. Dan yang terpenting  : mereka bergerak. Sembari berjalan mereka belajar, sembari berjalan mereka menuliskan peta perjalanan.
Sesuatu itu bernama Indonesia. Dan di balik nama itu, tersembunyi generasi demi generasi pemberani.
Penggunaan kata Indonesia pertama kali oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia, dalam Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia volume IV tahun 1850. ada jarak 63 tahun sebelum kata itu digunakan pertama kali oleh seorang pribumi, Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) untuk menamai biro persnya “Indonesische Persbureau “ saat dibuang di negeri Belanda tahun 1913.[5]
Dibutuhkan waktu bagi kegelisahan dimarginalisasi dari seorang doktor pribumi pertama, Dr. Abdul Rivai menjelma menjadi kegelisahan untuk memperjuangkan nasib pribumi dan akhirnya menjelma menjadi gerakan kemerdekaan. Kegelisahan nasib pribumi itulah yang menggerakkan seorang dokter sepuh dr. Wahidin Soedirohoesodo untuk berkeliling Jawa mencari dana pendidikan bagi para calon dokter Jawa. Pengalaman serupa di dunia jurnalistik menggerakkan seorang Tirto Adhisoerjo melahirkan pers nasionalis yang pertama.[6]
Aspirasi ini terus mengental hingga menggerakkan KI Hajar, EFE Douwess Dekker, dan dokter Cipto Mangunkusumo dalam Indische Partij untuk secara terbuka menyatakan keinginan kemerdekaan Indonesia.  Cita-cita utuh menjadi republik baru diserukan Tan Malaka lewat buku Naar Repoeblik Indonesia ! di tahun 1925.  Sementara kesepakatan bahwa indonesia adalah satu identitas bersama, satu subyek historis baru dicapai melalui Sumpah pemuda 1928.
Proses menulis Indonesia ini pun belum selesai, hingga bahkan sesudah kemerdekaan, seorang Sukarno masih terus melanjutkan karyanya merajut keindonesiaan dengan berkeliling nusantara, bertemu dengan para raja, pemimpin lokal, para pemuda, dan para pengusaha setempat untuk menguatkan persepakatan bersama bernama Indonesia.
Tanpa gadget, tanpa internet, tanpa media sosial, tanpa SEO, tanpa riset pasar, tanpa psikologi pemasaran, tanpa strategi digital, tanpa perencanaan finansial, bahkan tanpa pesawat, tanpa jalan raya yang mulus, tanpa kepastian dana pendukung, tetapi mereka berhasil menulis keindonesiaan. Just Do It, Kata Nike.
Dengan apa yang kita punya, mungkinkah mengulang peran sejarah yang sama ? Menulis dan merajut (kembali) nusantara ?

Mendownload (kembali) Indonesia, atau membiarkan bangsa menjadi layu
Bagaimana seorang Tan Malaka mendownload Indonesia ke isi kepalanya ? Bagaimana Soekarno menulis program aplikasi bernama Indonesia merdeka di ruang batinnya ? Atau bagaimana seorang Hatta menjalankan program nalar kebangsaannya ?
Mereka melihat bangsanya. Mereka menghormati kegelisahan hati mereka. Mereka menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak di kepala mereka. Mereka membaca. Mereka berdiskusi. Mereka berorganisasi. mereka membangun aksi. Mereka berkelana dari kota ke kota, komunitas ke komunitas, pribadi ke pribadi.
Dan melalui proses inilah keindonesiaan itu terumuskan, dihidupi, dan diperjuangkan. Dari situ kita bisa memperkirakan apa yang sebaliknya terjadi bila sebuah generasi kehilangan kepekaan pada sesama anak bangsa, kehilangan minat untuk membaca-berdiskusi-berorganisasi : Keindonesiaan itu akan layu. Sebuah bangsa akan layu ketika pengetahuan, organisasi, dan aksi tidak bergulir. Ketika benih kebangsaan tidak lagi disemaikan di bumi pertiwi kenyataan.
Ketika engkau tidak membaca dan mendiskusikan sebuah buku, bangsamu akan layu.
Dan niscaya, di tengah kegelisahan akan masa depan keindonesiaan kita, mau tidak mau kita harus mendownload kembali keindonesiaan kita. Dan tanggung jawab itu ada padamu, generasi.  Seluruh generasimu.

menjalankan Indonesia sebagai aplikasi
Maka sebagaimana kita mendownload dan menjalankan aplikasi Pokemon Go, mari menjalankan keindonesiaan kita. Mari melihat kembali bangsa kita. Menghormati kegelisahan hati kita. Menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak di jiwa  kita. Kita membaca. Kita berdiskusi. Kita berorganisasi. Kita membangun aksi. Kita berkelana dari kota ke kota, komunitas ke komunitas, merajut Indonesia dari hati ke hati.
Kita melihat berarti kita bersedia membuka mata. Mata kita yang ketiga, mata yang letaknya di hati kita.
Menghormati kegelisahan itu berarti menjadi peka akan ketidakadilan dan situasi perendahan martabat kehidupan yang berlangsung di dunia sekitar kita. Kita melihat wajah dunia yang menderita dan hati kita menderita bersama-sama dengan mereka. Sementara sikap diam dan tidak peduli akan semakin membuat hati kita lebih menderita.
Menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan jiwa kita berarti kita berani memutuskan untuk mengambil tindakan. menolak terhenti pada keraguan dan apatisme, tetapi berkata ya pada pertanyaan yang ada. menjadikan pertanyaan dan kegelisahan yang ada di masyarakat sebagai tugas dan mandat pribadi untuk menciptakan perubahan.
 Kita membaca, kita berdiskusi. kita belajar, mematangkan pengetahuan, memperluas cakrawala pemahaman juga kesepahaman dengan sesama teman seperjuangan, hingga kita memiliki cukup bekal untuk mengambil tindakan.
Kita berorganisasi. Kita membangun aksi. Yakni perjuangan riil menciptakan perubahan yang menuntaskan kegelisahan. Sebuah kerja membangun jembatan antara penderitaan dan harapan, berpijak pada buah-buah pengetahuan dan kapasitas yang dimiliki.
Kita berkelana dari kota ke kota, komunitas ke komunitas, merajut Indonesia dari hati ke hati. Karena pertama-tama perubahan sosial dalam bentuk apapun sejatinya diawali ketika kita bisa menyatukan kegelisahan personal satu sama lain, menjadi lapisan aspirasi perubahan di tengah masyarakat. maka kerja menyatukan, menjahit harapan-harapan adalah langkah penting dari kerja pembebasan.

Tarian Burung-burung
Pokémon GO is the latest proof of concept that if you combine a mobile game with innovative technology, like augmented reality, and add a partnership with such mobile ecosystem behemoth as Google, mostly likely you will hit a jackpot and create not just a new mobile game but a worldwide phenomena. And of course, there is one extra component of the Pokémon GO success – it’s based on previously popular Pokémon brand.[7]
Demikian pula dengan Indonesia. Indonesia adalah bukti aktual yang menunjukkan bahwa ketika kita berhasil menyatukan suara hati yang rindu pemerdekaan dengan seni berorganisasi dan menambahkan jejaring dan ekosistem pendukung perjuangan, kita akan meraih hadiah kemerdekaan, yang bukan hanya menciptakan sebuah tatanan negara bangsa baru, tetapi juga menginspirasi negara-negara dunia Ketiga untuk bangkit merai martabatnya. Dan tentu saja, ada satu komponen tambahan dari keberhasilan konsep Indonesia : bangkitnya roh-roh pahlawan di kedalaman hati anak-anak bangsanya.
Bagaimana menggerakkan sebuah bangsa ? Gerakan itu besar. gerakan itu merubah jutaan orang, gerakan itu terentang dalam bentang ruang dan waktu yang sangat lebar. Pada setiap elemen dari gerakan itu adalah gerakanmu. Gerakan itu dimulai dari dirimu. Indonesia adalah engkau.
Maka tarianmu adalah tarian bangsamu. Cinta yang mengalir dan menggerakkan hatimu, biarlah itu juga menggerakkan pikiran, ucapan, dan tindakanmu. Ketika cinta itu mengalir keluar dari batinmu menjadi ragamu, keluar dari ragamu menjadi pancaran perubahan bagi dunia sekitarmu, engkau sedang memperbaharui keindonesiaanmu. Bergeraklah, dan engkau menjadikan Indonesia baru.

Yogyakarta, 26 Oktober 2016
Cyprianus Lilik Krismantoro Putro



[1] Connie Hwong, Pokemon Go Thirty Days Later, http://www.vertoanalytics.com/pokemon-go-thirty-days-later/
[2] Artyom Dogtiev, http://expandedramblings.com/index.php/pokemon-go-statistics/
[3] tentang melemahnya pengalaman/interaksi langsung di era digital, lihat https://www.maynoothuniversity.ie/sites/default/files/assets/document/SiobhanMcGrath.pdf, atau http://search.proquest.com/openview/044b7ee251b3b0c014af43f0792f42c7/1.pdf?pq-origsite=gscholar
[4] Periodisasi evolusi internet dalam kebudayaan manusia. Web 1.0 ditandai oleh website tradisional satu arah. Era Web 2.0 ditandai oleh desain interaktif berupa media sosial dan blog. Web 3.0 ditandai oleh akses internet melalui alat-alat mobile/gadget. Web 4.0 ditandai oleh terajutnya segala benda di sekitar kita dengan internet dan penerapan big data.
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia
[6] buku yang wajib baca terkait peran Rm Tirto Adhisoerjo dalam membentuk gagasan keindonesiaan melalui jurnalistik ini adalah Karya Pram Ananta Toer, Sang Pemula dan mahakaryanya, Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
[7] Artyom Dogtiev, Pokémon GO Usage and Revenue Statistics, http://www.businessofapps.com/pokemon-go-usage-revenue-statistics/, 15 August 2016

No comments: