Belajar dari Pokemon Go
Diluncurkan pada 6 Juli 2016, dalam 13 jam, sebuah aplikasi permainan
menduduki peringkat pertama di AS. Dua minggu setelah diluncurkan, 19 Juli 2016,
ia mencapai puncaknya, dalam satu hari ia didownload 45 juta kali dan dimainkan
oleh 30 juta orang. Pada tanggal 3 Agustus 2016 ia masih dimainkan oleh 15 juta
pemain harian,ini jauh lebih tinggi dari
peringkat kedua Clash of Clans’ 3.1 juta pemain harian, dan Candy Crush Saga’s
4 juta pemain harian.[1]
Ia didownload 81 kali setiap detik, atau 6.998.400 kali setiap hari.
Ia menjadi produk aplikasi paling
menguntungkan sepanjang tahun 2016 dengan
didownload lebih dari 500 juta orang. Dalam 5 hari nilai saham Nintendo
bertambah 9 milyar dollar (117 trilyun rupiah).[2]
Hingga 12 Agustus 2016 ia sudah mengumpulkan keuntungan 258 juta dollar (3,354
triyun rupiah).
Ya, Pokemon Go namanya. Sebuah permainan
berbasis augmented reality, yakni integrasi
antara realitas dengan dunia maya melalui gadget. Berbasis figur dan narasi
Pokemon karya Satoshi Tajiri yang dirilis sejak 27 Februari 1996. Pokemon dibangun di
atas model game sejenis yang kurang populer, Ingress, dan dikembangkan
developer Niantic, John Hanke.
Pokemon Go didesain sangat
inspiratif, Ia mendorong kita untuk bangkit dari tempat duduk, menggerakkan
kaki dan tangan kita, dan beranjak menemui dunia. Ia bukan hanya memaksa kita
keluar ke halaman rumah, tetapi juga bertemu, berinteraksi satu sama lain di
antara kita.
Ya, Pokemon Go mengakhiri era
ketika game berbasis mobile berarti hanya
duduk diam di belakang layar gadget. Sebaliknya, ia menciptakan sebuah
interaksi dinamis yang menyatukan ruang, waktu, dan pribadi-pribadi manusia.
Maka kata-kata (yang sebenarnya tidak tepat itu) “autis teknologi” kehilangan relevansinya, kita semua bisa berlatih
(kembali) berbicara dari hati ke hati, bersentuhan, berpendapat, dan saling
bekerjasama.[3]
Kehadiran Pokemon Go mampu
memberikan kilatan masa depan bagi kita, bagaimana manusia dan teknologi
digital menyatu dalam hidup sehari-hari. Sebuah dunia masa depan, era Web 4.0[4],
sebuah era internet of things ketika
seluruh benda dalam kehidupan manusia terkoneksi dengan internet dan dirajut
menjadi satu melalui revolusi big data.
Dan apakah yang membuat sebuah
aplikasi mobile tersebar begitu cepat, hingga melejitkan nilai Nintendo
melampaui Sony ? Pertama, ketersediaan infrastruktur komunikasi; kedua, konten
dan narasi substantif yang terkelola baik dan dimatangkan selama bertahun-tahun;
ketiga, pemahaman akan situasi pasar dan strategi menghadapinya; keempat,
lautan manusia yang langsung tidak langsung sudah disiapkan untuk menerima
kehadiran sebuah game bernama Pokemon Go.
Maka, ketika kekuatan-kekuatan
itu memadu menjadi satu, ia menciptakan gelombang viral yang bukan hanya mampu
mengundang orang masuk ke dalam bentang semesta digital, tetapi mendorong
mereka untuk turun ke jalan-jalan berburu makhluk-makhluk imajiner yang ratusan jumlahnya itu.
Yang tak menanti sempurna tetapi berani
menulis Indonesia
Tetapi bertahun-tahun yang lalu,
sebelum istilah psikologi pemasaran
dikenal, sebelum semua orang punya gadget di tangan, sebelum lahir metodologi
melakukan riset pasar, sementara insfrastruktur komunikasi sangat terbatas,
sesuatu yang lebih besar dituliskan. Tak menunggu sempurna, mereka bahkan tak
mengerti apa saja yang dibutuhkan untuk menopang lahirnya sebuah bangsa. Tentu saja, jelas bukan gadget di setiap
tangan, psikologi pemasaran, koneksi
internet, user experience design [UX design], dan sejenisnya) Mereka gelisah,
mereka disengat sejarah. Dan yang
terpenting : mereka bergerak. Sembari berjalan mereka belajar, sembari berjalan
mereka menuliskan peta perjalanan.
Sesuatu itu bernama Indonesia. Dan
di balik nama itu, tersembunyi generasi demi generasi pemberani.
Penggunaan kata Indonesia pertama
kali oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia, dalam Journal
of the Indian Archipelago and Eastern Asia volume IV tahun 1850. ada jarak 63
tahun sebelum kata itu digunakan pertama kali oleh seorang pribumi, Suwardi
Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara) untuk menamai biro persnya “Indonesische
Persbureau “ saat dibuang di negeri Belanda tahun 1913.[5]
Dibutuhkan waktu bagi kegelisahan
dimarginalisasi dari seorang doktor pribumi pertama, Dr. Abdul Rivai menjelma
menjadi kegelisahan untuk memperjuangkan nasib pribumi dan akhirnya menjelma
menjadi gerakan kemerdekaan. Kegelisahan nasib pribumi itulah yang menggerakkan
seorang dokter sepuh dr. Wahidin Soedirohoesodo untuk berkeliling Jawa mencari
dana pendidikan bagi para calon dokter Jawa. Pengalaman serupa di dunia
jurnalistik menggerakkan seorang Tirto Adhisoerjo melahirkan pers nasionalis
yang pertama.[6]
Aspirasi ini terus mengental hingga
menggerakkan KI Hajar, EFE Douwess Dekker, dan dokter Cipto Mangunkusumo dalam
Indische Partij untuk secara terbuka menyatakan keinginan kemerdekaan
Indonesia. Cita-cita utuh menjadi
republik baru diserukan Tan Malaka lewat buku Naar Repoeblik Indonesia ! di tahun 1925. Sementara kesepakatan bahwa indonesia adalah satu
identitas bersama, satu subyek historis baru dicapai melalui Sumpah pemuda
1928.
Proses menulis Indonesia ini pun
belum selesai, hingga bahkan sesudah kemerdekaan, seorang Sukarno masih terus
melanjutkan karyanya merajut keindonesiaan dengan berkeliling nusantara,
bertemu dengan para raja, pemimpin lokal, para pemuda, dan para pengusaha
setempat untuk menguatkan persepakatan bersama bernama Indonesia.
Tanpa gadget, tanpa internet,
tanpa media sosial, tanpa SEO, tanpa riset pasar, tanpa psikologi pemasaran,
tanpa strategi digital, tanpa perencanaan finansial, bahkan tanpa pesawat,
tanpa jalan raya yang mulus, tanpa kepastian dana pendukung, tetapi mereka
berhasil menulis keindonesiaan. Just Do
It, Kata Nike.
Dengan apa yang kita punya,
mungkinkah mengulang peran sejarah yang sama ? Menulis dan merajut (kembali)
nusantara ?
Mendownload (kembali) Indonesia, atau membiarkan
bangsa menjadi layu
Bagaimana seorang Tan Malaka
mendownload Indonesia ke isi kepalanya ? Bagaimana Soekarno menulis program
aplikasi bernama Indonesia merdeka di ruang batinnya ? Atau bagaimana seorang
Hatta menjalankan program nalar kebangsaannya ?
Mereka melihat bangsanya. Mereka menghormati kegelisahan hati mereka.
Mereka menindaklanjuti
pertanyaan-pertanyaan yang bergejolak di kepala mereka. Mereka membaca. Mereka berdiskusi. Mereka
berorganisasi. mereka membangun aksi. Mereka berkelana dari kota ke kota,
komunitas ke komunitas, pribadi ke pribadi.
Dan melalui proses inilah
keindonesiaan itu terumuskan, dihidupi, dan diperjuangkan. Dari situ kita bisa
memperkirakan apa yang sebaliknya terjadi bila sebuah generasi kehilangan
kepekaan pada sesama anak bangsa, kehilangan minat untuk
membaca-berdiskusi-berorganisasi : Keindonesiaan itu akan layu. Sebuah bangsa
akan layu ketika pengetahuan, organisasi, dan aksi tidak bergulir. Ketika benih
kebangsaan tidak lagi disemaikan di bumi pertiwi kenyataan.
Ketika engkau tidak membaca dan
mendiskusikan sebuah buku, bangsamu akan layu.
Dan niscaya, di tengah
kegelisahan akan masa depan keindonesiaan kita, mau tidak mau kita harus
mendownload kembali keindonesiaan kita. Dan tanggung jawab itu ada padamu,
generasi. Seluruh generasimu.
menjalankan Indonesia sebagai aplikasi
Maka sebagaimana kita mendownload
dan menjalankan aplikasi Pokemon Go, mari menjalankan keindonesiaan kita. Mari melihat kembali bangsa kita. Menghormati kegelisahan hati kita. Menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan
yang bergejolak di jiwa kita. Kita membaca. Kita berdiskusi. Kita berorganisasi.
Kita membangun aksi. Kita berkelana dari kota ke kota, komunitas ke komunitas,
merajut Indonesia dari hati ke hati.
Kita melihat berarti kita bersedia membuka mata. Mata
kita yang ketiga, mata yang letaknya di hati kita.
Menghormati kegelisahan itu berarti menjadi peka akan ketidakadilan
dan situasi perendahan martabat kehidupan yang berlangsung di dunia sekitar
kita. Kita melihat wajah dunia yang menderita dan hati kita menderita
bersama-sama dengan mereka. Sementara sikap diam dan tidak peduli akan semakin
membuat hati kita lebih menderita.
Menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan jiwa
kita berarti kita berani memutuskan
untuk mengambil tindakan. menolak terhenti pada keraguan dan apatisme, tetapi
berkata ya pada pertanyaan yang ada. menjadikan pertanyaan dan kegelisahan yang
ada di masyarakat sebagai tugas dan mandat pribadi untuk menciptakan perubahan.
Kita
membaca, kita berdiskusi. kita
belajar, mematangkan pengetahuan, memperluas cakrawala pemahaman juga kesepahaman
dengan sesama teman seperjuangan, hingga kita memiliki cukup bekal untuk
mengambil tindakan.
Kita berorganisasi. Kita membangun aksi. Yakni perjuangan riil menciptakan perubahan
yang menuntaskan kegelisahan. Sebuah kerja membangun jembatan antara
penderitaan dan harapan, berpijak pada buah-buah pengetahuan dan kapasitas yang
dimiliki.
Kita berkelana dari kota ke kota, komunitas
ke komunitas, merajut Indonesia dari hati ke hati. Karena pertama-tama perubahan sosial dalam
bentuk apapun sejatinya diawali ketika kita bisa menyatukan kegelisahan
personal satu sama lain, menjadi lapisan aspirasi perubahan di tengah
masyarakat. maka kerja menyatukan, menjahit harapan-harapan adalah langkah
penting dari kerja pembebasan.
Tarian Burung-burung
Pokémon GO is the latest proof of concept
that if you combine a mobile game with innovative technology, like
augmented reality, and add a partnership with such mobile ecosystem behemoth as
Google, mostly likely you will hit a jackpot and create not just a new mobile
game but a worldwide phenomena. And of course, there is one extra component of
the Pokémon GO success – it’s based on previously popular Pokémon
brand.[7]
Demikian pula dengan Indonesia.
Indonesia adalah bukti aktual yang menunjukkan bahwa ketika kita berhasil
menyatukan suara hati yang rindu pemerdekaan dengan seni berorganisasi dan
menambahkan jejaring dan ekosistem pendukung perjuangan, kita akan meraih
hadiah kemerdekaan, yang bukan hanya menciptakan sebuah tatanan negara bangsa
baru, tetapi juga menginspirasi negara-negara dunia Ketiga untuk bangkit merai
martabatnya. Dan tentu saja, ada satu komponen tambahan dari keberhasilan konsep
Indonesia : bangkitnya roh-roh pahlawan di kedalaman hati anak-anak bangsanya.
Bagaimana menggerakkan sebuah
bangsa ? Gerakan itu besar. gerakan itu merubah jutaan orang, gerakan itu
terentang dalam bentang ruang dan waktu yang sangat lebar. Pada setiap elemen
dari gerakan itu adalah gerakanmu. Gerakan itu dimulai dari dirimu. Indonesia
adalah engkau.
Maka tarianmu adalah tarian
bangsamu. Cinta yang mengalir dan menggerakkan hatimu, biarlah itu juga
menggerakkan pikiran, ucapan, dan tindakanmu. Ketika cinta itu mengalir keluar
dari batinmu menjadi ragamu, keluar dari ragamu menjadi pancaran perubahan bagi
dunia sekitarmu, engkau sedang memperbaharui keindonesiaanmu. Bergeraklah, dan
engkau menjadikan Indonesia baru.
Yogyakarta,
26 Oktober 2016
Cyprianus
Lilik Krismantoro Putro
[1] Connie
Hwong, Pokemon Go Thirty Days Later, http://www.vertoanalytics.com/pokemon-go-thirty-days-later/
[2] Artyom
Dogtiev, http://expandedramblings.com/index.php/pokemon-go-statistics/
[3]
tentang melemahnya pengalaman/interaksi langsung di era digital, lihat https://www.maynoothuniversity.ie/sites/default/files/assets/document/SiobhanMcGrath.pdf,
atau http://search.proquest.com/openview/044b7ee251b3b0c014af43f0792f42c7/1.pdf?pq-origsite=gscholar
[4] Periodisasi
evolusi internet dalam kebudayaan manusia. Web 1.0 ditandai oleh website
tradisional satu arah. Era Web 2.0 ditandai oleh desain interaktif berupa media
sosial dan blog. Web 3.0 ditandai oleh akses internet melalui alat-alat
mobile/gadget. Web 4.0 ditandai oleh terajutnya segala benda di sekitar kita
dengan internet dan penerapan big data.
[5] https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_nama_Indonesia
[6]
buku yang wajib baca terkait peran Rm Tirto Adhisoerjo dalam membentuk gagasan
keindonesiaan melalui jurnalistik ini adalah Karya Pram Ananta Toer, Sang Pemula dan mahakaryanya, Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua
Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca).
[7] Artyom
Dogtiev, Pokémon GO Usage and Revenue
Statistics,
http://www.businessofapps.com/pokemon-go-usage-revenue-statistics/, 15 August
2016
No comments:
Post a Comment