Pagi
hari terang di langit, tapi gerimis terus saja. Gerimis adalah legenda, kini
legenda itu menghampiri jendela kamarku. Di situ di tanah coklat di bawah
jendela, cekungan-cekungan kecil oleh tetes-tetes hujan, menyisakan batu dan
kerikil, sepotong rumput bergoyang di genang air. Di cekungan-cekungan itulah
dulu kakek nenek kami biasa membuang botol-botol dengan menanamnya terbalik
untuk menjaga dan merawat tanah. Kini botol lebih berharga daripada tanah.
Urusan perut tentu tak bisa dikalahkan.
Atma
namaku. Jiwa yang berkelana. yang gelisah oleh desaku yang beranjak mengkota,
dan kota terlalu asing bagi manusia. Menatap hujan yang semakin jauh dari
kanak-kanak. Merenungkan kanak-kanak yang kehilangan kesempatan merayakan hidup
di bawah derai-derai hujan. Merenungkan para orang tua yang terlalu takut
anak-anaknya berhujan-hujan dan belajar langsung pada sang alam. Merenungkan
kemanusiaan yang menyerahkan kesatuannya pada alam ke tangan para ilmuwan demi
“kesehatan dan pola hidup yang aman bagi manusia”. Lupa bahwa bahaya terbesar
bagi alam dan manusia adalah manusia itu
sendiri.
Demikianlah
aku Atma, jiwa yang selalu bertanya. Dan selalu di saat-saat seperti itu Sang
Hidup punya cara lain bersapa dengan jiwaku.
Pagi
ini di bawah gerimis yang membasuh bumi, aku enggan berdoa Rosario lagi,
seperti yang selalu dinasihatkan ibuku. Tapi tiba-tiba ibuku berdiri di depan
pintu, tersenyum, lalu mengulurkan teh hangat padaku. Ibuku berkata, “Sudah
bangun, Ngger ?” Pada senyumnya, pada asihnya aku tak kuasa. Dan itulah mengapa
aku berdoa Rosario tiap pagi, meski aku tak begitu menyukainya. Dan tentu satu
yang kuminta, kelanggengan kasih itu, yang menyapaku dengan sapaan hangat yang
sama tiap kali pagi tiba : “Sudah bangun, Ngger ?”
Begitulah
Sang Hidup selalu punya cara merawat jiwaku, ketika ia gelisah akan hal-hal
besar, ketika ia menatap sejarah dan merasa terkerdilkan. Ibu. Segelas teh
hangat dan senyum itu, lebih dari cukup untuk memperbaharui peradaban.
No comments:
Post a Comment