Program bela negara kementerian pertahanan jelas bertujuan ideologis
daripada praktis. Ia adalah senjata bermatra ganda : meneguhkan kembali
kebangsaan pada tingkat metanarasi sebagai pengunci pertahanan nasional di
lapis psikologis rakyat setelah bertahun-tahun lamanya keindonesiaan terabaikan
bahkan terinjak-injak; kedua, dalam efek negatif terbukanya peluang manipulasi
imaji kebangsaan oleh kekuasaan, yang membangun kembali peluang kontrol oleh
paradigma keamanan terhadap masyarakat. Dan persis di ranah inilah suara minor
bergema mengkritisi rencana kementerian pertahanan tersebut.
momentum politik negara
integralistik
Upaya untuk menguasai kembali imaji hidup bersama inilah
yang mendapat penentangan kuat dari sebagian besar kalangan, khususnya aktivis
gerakan sosial yang melihat ancaman menguatnya kembali militer dan negara vis a
vis rakyatnya. Terlebih ia secara lebar membuka ancaman pelemahan lebih jauh
rakyat vis a vis negara (dan pasar), yang notabene sangat terasa di tengah
kelumpuhan gerakan hak-hak asasi manusia di Indonesia pasca 1998.
Di sisi lain, kementerian pertahanan cukup sabar menantikan
kematangan (atau kelelahan?) masyarakat untuk menerima kembali gagasan negara
kuat. Gagasan negara kuat sendiri Bela negara diandaikan menjadi prakondisi lahirnya
kembali keindonesiaan yang selama ini terpinggirkan oleh fundamentalisme
religius dan fundamentalisme budaya Barat. Fundamentalisme modal sendiri jelas dipandang
secara ambigu di antara para pendukung gagasan negara kuat. Ada keretakan
antara nasionalis romantis yang lebih mendukung nasionalisme ekonomi daripada
pengusaha pendukung integrasi total pasar bebas.
Mengamini pembacaan Olle Tornquist tentang tiga kekuatan
politik Indonesia pasca 1998, (lihat http://demosindonesia.org/wp-content/uploads/Demokrasi-di-Atas-Pasir.pdf ), kiranya ini
adalah saat ketika para pendukung paham negara integralistik yang subur makmur
di Era Orde Baru (yakni kekuatan nasionalis kanan dan nasionalisme romantis
kulit berwarna) kembali tampil ke muka untuk menyelamatkan kembali kesatuan dan
identitas bangsa Indonesia. Upaya politik ini tentu saja berusaha memanfaatkan
kegelisahan minoritas dan Islam nasionalis, di satu sisi, serta kekuatan
pengusaha di sisi lain, untuk menciptakan stabilitas nasional berbasis otoritas
doktrin.
Tentu saja, konsep negara kuat di sini konvensional
sifatnya, lebih dekat dengan imajinasi Mr. Supomo daripada kecenderungan arus
balik penguatan kembali negara vis a vis fundamentalisme pasar akibat kegagalan program ekonomi politik
neoliberal. Sayangnya, dalam kultur politik dagang sapi warisan Orde Baru yang terus kita hidupi
dalam budaya politik kita saat ini, paradigma integralistik sebagai kerangka
intelektual ini berjalin kelindan dengan kepentingan, identitas kolektif (kelas
dan kasta sosial, misal : tentara), bahkan kebenaran
eksistensial dalam nalar berpikir sebagian anak negeri ini. Meski
sebagaimana penulis uraikan di bawah, ketahanan
nasional justru sangat terkait dengan kemampuan kita melucuti kemandegan
nalar –kebenaran- semacam ini. ketahanan nasional pertama-tama adalah kerja
intelektualisasi seluruh anak negeri, sebuah program politik kebudayaan yang
dengan sadar dilakukan oleh Finlandia dan Israel berpuluh-puluh tahun lamanya.
merentangkan nalar dan
imaji ketahanan nasional
Saat ini kita hanya bisa mengkritisi gagasan bela negara
tersebut dengan meraba-raba, menteri pertahanan belum memaparkan gagasan ini
lebih mendalam dan konseptual. Namun menilik jejak masa lalu, penulis menduga
ada dua hal yang mau direngkuh : menuliskan kembali keindonesiaan di tingkat
narasi dan metanarasi, serta dengan ini melakukan pengelolaan keriuhan
ideologi-ideologi demi tercapainya stabilisasi nasional demi berjalannya
pembangunan nasional.
Keduanya tentu saja, benar dalam doktrin ketahanan nasional.
Namun sejauh mana dontrin ketahanan nasional itu “benar” dalam konteks
globalitas baru, itu lain persoalan. Dalam konteks ini, dalam era perpetual beta (ketidaksempurnaan diakui
dan dihormati sebagai kodrat alami, dan perbaikan abadi adalah keniscayaan yang
meluhurkan penciptaan), kritik terus-menerus sama pentingnya (bahkan jauh lebih
penting dalam kerangka transformasi ke depan) dengan rumusan bela negara itu sendiri.
Namun bukan menjadi tujuan tulisan ini untuk melakukan
kritik pada doktrin ketahanan nasional, penulis hanya tergerak oleh sebuah
pertanyaan penuh imaji, bagaimana meneruskan negeri ini sebagai gagasan dan
kenyataan 50, 100, bahkan 1000 tahun ke depan ? Bagaimana keindonesiaan diteruskan,
diperjuangkan, dan dihidupi ditengah peradaban digital ? Ketika ruang maya
semakin mendominasi pengalaman-pengalaman eksistensial manusia ? Ketika internet of everything melebur keduanya menjadi
satu menjadi realitas hibrid ? Ketika manusia semakin (karena sudah) menjelma
menjadi cyborg (cybernetic organism) ? Apakah bela negara menjadi instrumen yang
sepadan dengan itu, atau kita membutuhkan pendekatan baru bagi masa depan
keindonesiaan ?
Ketahanan nasional : sinergi
kewargaan kritis dan narasi kebangsaan
Kalau tujuan bela negara melalui pelatihan fisik di samping
menyalakan kembali narasi kebangsaan adalah memberi kelincahan psikomotorik, ia
tak cukup semata-mata membangun kesamaptaan, ia juga harus menyemaikan dua hal
yang lain : solidaritas kemanusiaan
dan kesiapsiagaan/kesigapan berpikir.
Dalam konteks ketahanan nasional penulis bahkan bisa
mengamini wajib militer seperti di Korea Selatan, Singapura, atau Israel. Tetapi
bagaimanapun juga ia harus dikelola secara pedagogis, bukan doktriner. Pedagogi
mengembangkan manusia, menumbuhkan kemanusiaan, dan alat-alat berpikirnya;
sebaliknya doktrin menekan sisi manusia dan menyederhanakan dengan represinya. Bela
negara, yang jauh lebih ringan daripada wajib militer, harus dilihat dalam
kacamata kekuatan kebudayaan. Ketahanan nasional harus diletakkan di tingkat
peradaban.
Perlu juga diingat di negara-negara tersebut rekayasa
psikomotorik diimbangi dengan kualitas pendidikan (yakni pembentukan
warganegara sebagai subyek politik dan kultural) yang sangat baik, serta
kualitas pemerintahan dan pejabat publik yang partisipatif dan sepenuhnya
melayani warganya (dan dengan demikian meminimalisir abuse of power). Bahkan sangat kuatnya politik kewargaan yang mandiri
dan berani di sebuah negara yang military-heavy
seperti Israel, telah melahirkan kemampuan kewirausahaan (yakni start up di ranah teknologi tinggi) yang
sangat berbeda antara negara tersebut dengan Singapura dan Korea Selatan. Tradisi
cutzpah, yang menekankan keberanian
kritis dan iklim kesetaraan di semua sektor kehidupan (bahkan di dalam
lingkungan militer yang di negara lain umumnya sangat hirarkhis) berakar sangat
mendalam.
Negara sekecil Israel mencatatkan jumlah perusahaan di
NASDAQ lebih besar dari gabungan seluruh Eropa,
terbanyak ketiga setelah AS dan China. Narasi menjadi kuat ketika ia
ditopang oleh kebebasan dan kemandirian berpikir. Membangun kultur kritis sama
pentingnya dengan pembangunan narasi kebangsaan bagi kepentingan ketahanan
nasional. Narasi kebangsaan membangun satu ruang imajiner, “kekitaan”, sementara kultur kritis
melengkapinya dengan mesin untuk kedewasaan hidup bersama sebagai satu bangsa (adab), dan lebih jauh lagi, menghadirkan
kultur intelektual sebagai mesin keadaban, pencapaian teknis, ekonomi, politik,
dan kultural sebuah bangsa.
Jalan Ki Hajar, jalan
Syahrir
Subyek yang kuat adalah kunci dari bangsa yang kuat. Dan
penguatan subyek mensyaratkan kesadaran dan kematangan kultural yang tinggi.
Ada banyak bentuk nation building pasca hegemoni paradigma militeristik,
mengulang dan menggarisbawahi peran kesenian dalam perjuangan sebuah bangsa,
pendekatan artistik selalu bisa menggerakkan jiwa, sama hebatnya dengan sistem
doktriner yang dikembangkan dalam pendekatan militeristik. Dan pesan-pesan
artistik itu selalu menggema mulai dari lagu Indonesia Raya WR Supratman hingga
poster-poster PERSAGI, mulai dari film Nagabonar hingga lagu Kebyar-kebyar
Gombloh, mulai dari Anak Seribu Pulau Garin Nugroho hingga lagu Bendera Coklat.
Dalam masa kampanye kepresidenan yang lalu kita juga dibanjiri interpretasi
yang sangat kaya dan cerdas tentang keindonesiaan. Interpretasi yang sangat
kaya dan cerdas tentang keindonesiaan, menandakan sebuah spirit kebangsaan yang
sehat, lepas dari adanya sekelompok kecil anak bangsa yang lupa pada akar dan
keadaban hidup bersama.
Barangkali, berhadapan dengan fenomena ini, demi cita-cita
negara kuat (dan bangsa yang kuat), bangunan penegakan hukum yang sehat dan
fair lebih dibutuhkan. Plus kepemimpinan nasional yang punya sikap, berkarakter,
dan berani bertindak hingga mampu memberi keterarahan moral dan keutuhan role
model anak bangsa yang berintegritas. Kunci negara kuat terletak pada kepastian
dan konsistensi hukumnya. Kunci negara kuat terletak pada harga diri,
keterarahan, dan solidaritas etis hidup bersama. Kunci negara kuat adalah
teladan tindakannya.
Keragaman menyeruak dalam arus budaya baru, masa depan membutuhkan
respon yang lebih kaya untuk menafsirkan bela negara. Kekayaan tafsir itu lebih
dibutuhkan, untuk merespon tantangan kekinian dan masa depan yang terentang
sangat lebar itu, untuk merajut bentuk-bentuk ketahanan nasional baru. Dibutuhkan
kecerdasan-kecerdasan baru, di tengah dentuman ekonomi berbasis IT, pluralisasi
narasi dan realitas, berseminya alat-alat sosial dan teknis baru, dan migrasi
memasuki bentang peradaban baru. Dibutuhkan pribadi-pribadi nasionalis yang
unik, cerdas, dan kongkrit untuk bisa merespon arus yang tak mungkin ditunda
itu.
Di sinilah kita diundang kembali ke jalan ki Hajar
Dewantoro, jalan Sutan Syahrir : membesarkan bangsa dengan cara pedagogis. Itulah
jalan yang ditempuh oleh Finlandia sejak tahun 1970an. Bangsa yang dibesarkan
dan dididik dalam sistem pendidikan yang memerdekakan kodrat dan hakekat
kemanusiaannya dengan sendirinya akan memiliki produktivitas dan heroismenya
sendiri.
Kita membutuhkan lebih banyak anak bangsa yang berani
gelisah atas dunia sekitarnya. Di situlah lokus historis dari intelektual
organik. Dan intelektual organik adalah ibarat kecambah yang mengubah dunia sekitarnya.
Demikianlah negeri ini ditopang tidak hanya oleh satuan-satuan tempur yang
paling maju, tetapi oleh pribadi-pribadi warganegara yang kuat dan kontributif.
Setiap orang adalah agen dari bangsanya, kemajuan bangsanya. Keindonesiaan digerakkan oleh perenang perintis yang solider, mandiri,
dan kreatif di deras arus teknologi informasi, di dalam peziarahan panjang
menuju digital civilization.
Jalan Ki Hajar, jalan-jalan yang
dahulu pernah dilalui perintis bangsa ini, sebuah jalan bernama literasi, di jalan-jalan ini kita menulis surat
kepada Ibu Pertiwi.
Yogyakarta, 16 Oktober 2015
tulisan ini juga dapat dibaca di http://www.kompasiana.com/lilik/melampaui-bela-negara-jalan-lain-nation-building_5620866f5b7b6107048b456f
tulisan ini juga dapat dibaca di http://www.kompasiana.com/lilik/melampaui-bela-negara-jalan-lain-nation-building_5620866f5b7b6107048b456f
1 comment:
menarik sekali baca nya
jadi betah
terus update info info nyang lain nya
terimakasih
Post a Comment