Pada sebuah muara di kota Sibolga, seorang lelaki membawa
cangkulnya.
Angin senja bertiup memainkan ombak. Seorang ibu menggendong
bayinya, sementara beberapa kanak berlarian di pantai. Beberapa tonggak beton
penambat kapal nelayan bergulingan terpukul ombak.
Kota yang berbukit telah mengantar air ke muka pantai. Muara adalah pertemuan antara aliran hidup
yang membasuh kota dan keluasan laut yang menjadi tujuan dan hasrat semua air
di bumi. Di muara sungai itu mereka bertemu. Di tepi sungai itu mereka seharusnya bertemu.
Tetapi hari itu, sebagaimana berulangkali terjadi sepanjang
tahun, air itu tidak mengalir menjumpai
lautan, Ia terhenti oleh sumbatan pasir yang dihempas oleh ombak. Laut memang
penuh misteri dan memiliki jiwanya sendiri : ia adalah puncak pencapaian
perjuangan hasrat-hasrat sang air, tetapi pada suatu saat yang lain, ia bisa
memukul balik dan menghancurkan segalanya.
Di arus sungai yang sangat tenang di muara yang datar, apalagi
di musim kemarau panjang, pasir dengan mudah menutup jalan air nyaris tanpa
perlawanan. Ketika gundukan pasir itu terlalu tinggi, air sungai di muara bisa
meluap membanjiri perkampungan nelayan. Ketika air meluap, ia melupa kemana ia
seharusnya mengalir. Lalu muara kehilangan wajahnya dan air kehilangan
keteraturannya.
Di saat itulah dibutuhkan lelaki itu.
Lelaki itu mengayunkan cangkulnya ke gundukan pasir. Ia
membuat selokan kecil di atas sumbatan muara. Dengan cangkulnya ia menyatukan
air yang terbendung dengan luasnya lautan. Tak perlu ia membuat saluran yang
terlalu lebar : kerinduan air yang terbendung itu akan membuka jalannya
sendiri.
Perlahan arus air mengikis gundukan itu. Pertama-tama agak
perlahan, tetapi seiring semakin luas dan dalamnya selokan, arus pun semakin
cepat dan membesar. Dan sungai pun kembali dipulihkan.
Sibolga, pada sebuah senja di muara. Lampu-lampu kota yang
mulai menyala dan bintang-bintang di atas Sibolga berkerlipan dengan anggunnya.
No comments:
Post a Comment