21.12.14

Sibolga, pada sebuah muara




Pada sebuah muara di kota Sibolga, seorang lelaki membawa cangkulnya.
Angin senja bertiup memainkan ombak. Seorang ibu menggendong bayinya, sementara beberapa kanak berlarian di pantai. Beberapa tonggak beton penambat kapal nelayan bergulingan terpukul ombak.
Kota yang berbukit telah mengantar air ke muka pantai.  Muara adalah pertemuan antara aliran hidup yang membasuh kota dan keluasan laut yang menjadi tujuan dan hasrat semua air di bumi. Di muara sungai itu mereka bertemu. Di tepi sungai itu mereka seharusnya bertemu.
Tetapi hari itu, sebagaimana berulangkali terjadi sepanjang tahun,  air itu tidak mengalir menjumpai lautan, Ia terhenti oleh sumbatan pasir yang dihempas oleh ombak. Laut memang penuh misteri dan memiliki jiwanya sendiri : ia adalah puncak pencapaian perjuangan hasrat-hasrat sang air, tetapi pada suatu saat yang lain, ia bisa memukul balik dan menghancurkan segalanya.
Di arus sungai yang sangat tenang di muara yang datar, apalagi di musim kemarau panjang, pasir dengan mudah menutup jalan air nyaris tanpa perlawanan. Ketika gundukan pasir itu terlalu tinggi, air sungai di muara bisa meluap membanjiri perkampungan nelayan. Ketika air meluap, ia melupa kemana ia seharusnya mengalir. Lalu muara kehilangan wajahnya dan air kehilangan keteraturannya.
Di saat itulah dibutuhkan lelaki itu.
Lelaki itu mengayunkan cangkulnya ke gundukan pasir. Ia membuat selokan kecil di atas sumbatan muara. Dengan cangkulnya ia menyatukan air yang terbendung dengan luasnya lautan. Tak perlu ia membuat saluran yang terlalu lebar : kerinduan air yang terbendung itu akan membuka jalannya sendiri.
Perlahan arus air mengikis gundukan itu. Pertama-tama agak perlahan, tetapi seiring semakin luas dan dalamnya selokan, arus pun semakin cepat dan membesar. Dan sungai pun kembali dipulihkan.
Sibolga, pada sebuah senja di muara. Lampu-lampu kota yang mulai menyala dan bintang-bintang di atas Sibolga berkerlipan dengan anggunnya.


No comments: